Jumat, 20 Desember 2013

DEWI SUKESI DAN 'SASTRA JENDRA HAYUNING RAT, PANGRUWATING DIYU'

Pada pagelaran wayang kulit purwa, pengetahuan atau ilmu 'Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu' umumnya dianggap sebagai pengetahuan yang 'wingit' (penuh mistis dan menakutkan). Karenanya, ilmu ini hanya boleh diajarkan kepada orang pilihan, yakni mereka yang telah mencapai tingkatan amat sangat bijak. Penyebabnya, adalah bahwa ilmu ini diyakini bisa mengubah takdir manusia.

Pada pagelaran wayang kulit purwa, pengetahuan atau ilmu 'Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu' umumnya dianggap sebagai pengetahuan yang 'wingit' (penuh mistis dan menakutkan). Karenanya, ilmu ini hanya boleh diajarkan kepada orang pilihan, yakni mereka yang telah mencapai tingkatan amat sangat bijak. Penyebabnya, adalah bahwa ilmu ini diyakini bisa mengubah takdir manusia.


Selama membaca artikel ini, ada baiknya juga kita sambil mendengarkan permainan ricikan Gender Barung, Gender Panembung, serta Rebab; dalam Gendhing Laler Mengeng yang sangat sendu.

https://www.youtube.com/watch?v=Xe61MLcwvUY

Pada suatu sore (hari Selasa, tanggal 17 Desember 2013), sahabat lama saya, Pak Dhe Dwi Hardjito, berkunjung di kampus tempat saya mengajar, di ruang Studio Proyek Disain 3, Program Studi Desain Produk, Jurusan Desain Produk, FSRD, Itenas (Institut Teknologi Nasional), Bandung. Setelah lama berbincang soal studinya, menjelang akhir pembicaraan, kita berdua mendengarkan dan menikmati sejenak rekaman audio pagelaran wayang kulit purwa, dari sekitar tahun 1970-an, lakon ‘Rahwana Gugur’, yang dimainkan oleh almarhum Ki Narto Sabdho. Menjelang akhir pertemuan, pembicaraan akhirnya bergeser ke arah soal diajarkannya ilmu pengetahuan yang disebut ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Secara kebetulan, pada rekaman audio itu, ada adegan yang menceritakan saat  ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ diajarkan kepada Dewi Sukesi oleh Begawan Wisrawa. Menariknya, adalah bahwa menurut sahabat saya itu, proses pengajaran ilmu ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi itu, ternyata ada dua versi yang amat sangat berbeda. Maka, lengkaplah diskusi kecil sore itu, membincangkan soal ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ yang amat sangat terkenal itu…..


Selintas tentang ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’

Ajaran ilmu pengetahuan ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ itu, pada dasarnya merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berisi dua bagian penting. Bagian pertama, berisi berbagai ajaran tentang bagaimana cara hidup baik atau bagaimana caranya memperbaiki mutu kehidupan manusia. Sedang bagian kedua, berisi berbagai ajaran tentang bagaimana cara mengubah nasib dan takdir. Kedua hal tersebut, merupakan rangkuman utama ajaran ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. 

Dari sebutannya, istilah‘sastra’, menunjuk kepada pengertian‘tulisan, surat, buku, ilmu tulisan, senjata’, atau ‘tulisan yang berisi pengetahuan’. Sedangkan orang yang pandai dan menguasai suatu ilmu pengetahuan tertentu, disebut ‘sastra-daksa’. Istilah ‘jendra’,merupakan kata bentukan yang berasal dari dua kata, yaitu ‘jaya' dan ‘endra’; yang jika disatukan akan berbunyi ‘jaya-endra’, lalu disingkat menjadi ‘jendra’. Istilah ‘jaya’, artinya ‘menang, bahagia, kuasa’. Istilah ‘endra’ atau ‘indra’, merupakan sebutan yang mewakili Dewa Endra, Sang Hywang Endra, atau Bathara Endra; yakni dewa penguasa angkasa raya. Dalam ajaran kuno Hasta Brata, Endra atau angkasa dipandang mewakili sifat mempunyai ketulusan batin, dan mempunyai kemampuan mengendalikan diri. Dengan demikian, istilah ‘jaya-endra’  atau ‘jendra’, berarti ‘kebahagiaan manusia yang didasari atau dilandasi ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri’.

Istilah ‘jendra’ juga dekat dengan sejumlah istilah lain. Misalnya, dekat dengan istilah‘jitendriya’, yang artinya ‘orang yang dapat atau mempunyai kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan nafsu’. Istilah ‘jnana’, artinya ‘ilmu, pengetahuan,arti, pikiran, kesadaran’. Dalam pengertian ini, istilah ‘jnana-endra’ mempunyai pengertian ‘ilmu, pengetahuan, pikiran, atau kesadaran; yang bisa menghasilkan kebahagiaan atau penguasaan atas sesuatu hal’. Istilah ‘jnani’, artinya ‘pandai, bijaksana’. Dalam pengertian ini, istilah ‘jnani-endra’, mempunyai pengertian ‘kepandaian atau kebijaksanaan; yang bisa menghasilkan kebahagiaan atau penguasaan atas sesuatu hal’. Istilah ‘janma,janmi, jalmi’,atau ‘jalma’, artinya ‘manusia, orang’. Dalam pengertian ini, istilah ‘janma-endra’ lalu mempunyai pengertian ‘manusia yang mempunyai kemampuan mengendalikan diri dan ketulusan batin’. Berdasar bahasan di atas, maka istilah ‘jendra’ pengertiannya lalu berkembang menjadi ‘suatu pengetahuan dan kesadaran manusia, yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, dan penguasaan’.

Istilah ‘hayu’ atau ‘ayu’, artinya ‘indah, cantik, selamat, atau baik’. Sedangkan istilah‘pamahayu’, artinya ‘perlindungan atau pertolongan’. Sedangkan istilah ‘rat’, artinya ‘angkasa, luas, dunia’. Dengan demikian, istilah ‘hayu ing rat’  atau ‘hayuning rat’, artinya ‘keselamatan atau kebahagiaan di dunia’ atau lengkapnya ‘keselamatan atau kebahagiaan yang dinikmati, selama manusia hidup di dunia’. Maka istilah ‘sastra jendra hayuning rat’pengertian lengkapnya adalah ‘ilmu, pengetahuan, dan kesadaran manusia; yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, penguasaan, dan keselamatan; yang dinikmat manusia selama hidup didunia’.

Kalimatberikutnya, adalah ‘pangruwating diyu’.Istilah ‘pangruwating’ berasal darikata dasar‘ruwat’, yang artinya‘ruat, rawat, bebas, atau terlepas, dari cecat (murka, kutukan, tenung) dewa(penguasa jagat raya)’. Istilah ‘pangruwat’dapat juga berarti ‘upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, ataumenghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya’. Sedangkanistilah ‘diyu’, artinya ‘raksasa’.Bisa juga berarti ‘iblis atau setan’; atau ‘sesuatu yang bersifat seperti peri-lakuiblis’. Raksasa, iblis, atau setan; seringkali disetarakan, mewakili, ataumenggambarkan sesuatu hal yang buruk, tidak baik, jahat, sifat negatif, sifatburuk, sifat jahat, pembawa petaka, pembawa kemalangan, dan pembawa nasib atautakdir buruk’. Jadi, kalimat ‘pangruwatingdiyu’, artinya ‘upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, ataumenghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya; sehinggaterbebas dari kemalangan, nasib atau takdir buruk’.

Maka kalimat lengkap ‘sastra jendra hayuning rat,pangruwating diyu’, lalu mempunyai pengertian ‘ilmu, pengetahuan, dan kesadaran manusia; yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, penguasaan, dan keselamatan; yang dinikmati manusia selama hidup di dunia; dengan cara melakukan upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, atau menghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya; sehingga terbebas dari kemalangan, nasib atau takdir buruk’. Itulah pengertian selengkapnya dari kalimat ‘sastra jendra hayuning rat, pangruwatingdiyu’  yang luar biasa itu. Ini merupakan pengetahuan inti selengkapnya yang berhubungan dengan kehidupan manusia di bumi (di alam janaloka). Itulah penjelasan selengkapnya tentang pengertian ‘sastra jendra hayuning rat, pangruwating diyu’.


Pertemuan antara Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, yang dilakukan di tempat yang tertutup rapat, sepi, gelap, hanya berdua, dan dalam waktu yang cukup lama; berakibat keduanya berada dalam situasi 'lupa diri'. Dalam jagat pewayangan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan situasi ini, adalah "Jroning peteng, sing ana amung lali. Jroning lali, sirna sipating bakal maratuwa lan bakal mantu. Sing ana amung sipating priya lan wanodya". Dalam kegelapan, yang terjadi adalah lupa. Dalam keadaan lupa, hilanglah calon mertua dan calon mantu. Yang dirasakan hanyalah keberadaan seorang pria dan seorang wanita.
Pertemuan antara Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, yang dilakukan di tempat yang tertutup rapat, sepi, gelap, hanya berdua, dan dalam waktu yang cukup lama; berakibat keduanya berada dalam situasi 'lupa diri'. Dalam jagat pewayangan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan situasi ini, adalah "Jroning peteng, sing ana amung lali. Jroning lali, sirna sipating bakal maratuwa lan bakal mantu. Sing ana amung sipating priya lan wanodya". Dalam kegelapan, yang terjadi adalah lupa. Dalam keadaan lupa, hilanglah calon mertua dan calon mantu. Yang dirasakan hanyalah keberadaan seorang pria dan seorang wanita.




Dewi Sukesi menerima ajaran ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’

Dewi Sukesi, puteri Prabu Sumali, dari Negeri Alengka, menyampaikan sayembara untuk mencari calon pasangan hidup. Entah apa yang melandasi pemikirannya, kita tak pernah tahu. Tetapi, yang jelas Dewi Sukesi menyampaikan syarat. Yaitu, calon suami yang dikehendakinya, adalah seseorang pria yang mampu menjelaskan dan mengajarkan kepadanya ilmu pengetahuan yang disebut ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’.
Di antara para ‘narpati mudha’ (raja muda) yang sangat berminat menjadikan Dewi Sukesi sebagai permaisuri, adalah Prabu Danapati (juga disebut Prabu Daniswara, Prabu Wisrawana, atau Prabu Danaraja) dari Negeri Lokapala. Namun, apa lacur, sang raja muda ini sama sekali tak menguasai ilmu pengetahuan ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Karena itu, ringkas cerita Prabu Danapati lalu meminta tolong kepada ayahandanya, yakni Begawan Wisrawa atau Begawan Mamulayasa, seorang pendeta sakti yang luar biasa dari Pertapaan Arga Wirangin, untuk mewakilinya dan meminang Dewi Sukesi. Maka berangkatlah Begawan Wisrawa mewakili puteranya, untuk melamar Dewi Sukesi. Ayah Prabu Danapati dan ayah Dewi Sukesi; yakni Begawan Wisrawa dan Prabu Sumali, keduanya ternyata merupakan sahabat karib.

Ringkas cerita, atas permintaan Dewi Sukesi, maka Begawan Wisrawa dengan berat hati, akhirnya menyanggupi untuk mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi, namun ia menyampaikan sejumlah syarat dan menjelaskannya kepada Dewi Suksesi serta ayahandanya, Prabu Sumali.

  • Proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ tidak boleh dilihat dan didengarkan sama sekali oleh orang lain. Artinya, proses pengajarannya harus dan hanya boleh dilakukan secara rahasia, bersifat amat sangat pribadi, dilakukan di suatu tempat yang amat sangat tertutup, lepas dari kemungkinan adanya pengamatan dan pendengaran oleh manusia lain, serta dalam pertemuan sangat pribadi yang bersifat ‘catur netra’ (empat mata).
  • Ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, sebenarnya merupakan suatu pengetahuan rahasia, yang sebenarnya tidak boleh diajarkan kepada sembarang manusia. Hanya manusia pilihan saja yang memenuhi berbagai syarat dan telah sampai pada tingkat amat sangat bijak, yang boleh mengetahui dan mempelajari ilmu ini. Penyebabnya, ilmu ini jika isinya dipraktikkan, merupakan ilmu pengetahuan yang bisa mengubah takdir.  Padahal, soal mengubah takdir itu sebenarnya merupakan hak prerogatif para dewa penguasa jagat raya; dan sama sekali bukan wewenang manusia untuk mengubahnya.
  • Dalam pandangan para dewa, jika banyak manusia menguasai ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, maka setiap manusia lalu bisa mengubah takdirnya sendiri-sendiri, sesuai keinginannya. Akibatnya, peran para dewa dalam mengatur takdir kehidupan manusia, akan menjadi amat sangat surut (berkurang). Bahkan, mungkin saja peran para dewa dengan segala kekuasaannya atas‘jantra’ kehidupan manusia, akan lenyap sama sekali. Ini akan merupakan hal yang amat sangat ditakutkan oleh para dewa penguasa jagat raya.
Setelah segala persyaratan dipenuhi dan disetujui oleh Dewi Sukesi dan Prabu Sumali, maka proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi dimulailah. Semuanya dimulai dalam keremangan senja yang mencekam.

Matahari telah mulai membenamkan diri dalam bayang-bayang cakrawala barat nan jauh ditepi batas pandang mata. Memerah semburat cahayanya, perlahan-lahan semakin membiaskan berkas-berkas cahaya merah keemasan ke arah langit timur.  Mega-mega tampak mengawang di angkasa menjelang malam. Warnya yang putih redup, bersemu merah darah. Menyala dalam keremangan senja. Perlahan-lahan, rahina lalu berganti malam. Semburat cahaya Sang Bagaskara, perlahan-lahan mulai bergerak perlahan, menghilang ditelan malam. Perlahan-lahan, di angkasa taburan permata bintang-bintang malam mulai menghias kegelapan malam. Semakin lama, semakin banyak bintang-bintang malam menampilkan diri dalam gemerlap kedip-kedip penuh pesona.  Suara gelepar sayap kelelawar dan burung-burung malam sesekali mulai terdengar mengepak tak teratur. Menyeruak malam penuh bintang. Mengejar mimpi-mimpi dan cerita. Di angkasa timur, pelan-pelan bulan purnama mulai menampilkan diri dalam bentuk bola emas raksasa penuh pesona. Makin lama, makin tinggi di angkasa. Cahaya purnama yang menerangi malam itu, terasa makin lama makin terang saja. Sasadara pindha rahina, bulan purnama tampil terang bagaikan siang hari. Cahayanya yang kuning keemasan itu, berhiaskan jutaan permata bintang-bintang malam.

Hanya kesunyian yang terasa di malam itu. Seakan segala keramaian dunia berhenti seketika. Seakan semuanya menghentikan kegiatannya. Bahkan, burung-burung malam dan kelelawar seakan juga enggan terbang mengarungi keheningan malam. Angin malam tak bertiup. Tak terasa desir angin sama sekali. Bahkan daun-daun pepohonan seakan diam membeku. Tak bergoyang, tak bergerak. Semuanya terdiam di tempatnya. Hanya tampak seruak dahan dan ranting pohon asamtua tak berdaun, yang tampak bagaikan jari-jari tangan kurus menggapai angkasa. Hitam warnanya, membayang di dalam kelam malam. Di balik cemerlang cahaya purnama, dahan dan ranting pohon asam seakan membayangkan peristiwa kelam. Seakan hendak ikut bercerita tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Tentang perjalanan hidup manusia, dari mana asal dan hendak ke mana setelah akhir hidup menjelang.

Hanya keheningan yang tercipta. Sunyi merambati malam itu. Sesaat, bagaikan perlahan terbawa serta samirana, tercium bau dupa dan kemenyan, samar-samar menyeruak dan menelusuri ke dalam relung-relung ruang hati manusia yang paling dalam. Terasa semakin sendu. Terasa semakin sunyi. Lalu terasa seakan semuanya berhenti. Berlama-lama hanya kesunyian semata yang terasa. Tak ada apapun. Bahkan tak ada gemerisik gerak binatang malam. Berlama-lama dalam kesunyian. Berlama-lama dalam kepekatan malam yang gelap. Berlama-lama dalam ruang semadi, dua manusia duduk bersila berhadapan, saling memejamkan mata. Hampir-hampir tak terdengar apapun, kecuali suara hembusan halus nafas keduanya. Dalam posisi ‘sedhakep saluku tunggal’, saling berhadapan, keduanya mengheningkan pikiran, hati, dan perasaannya. Di kejauhan, terdengar lantunan Suluk Malam, perlahan mengalun ditembangkan para pradangga dan para pengagung kekuasaan Gusti Allah, berdoa dan memuja Sang Penguasa Jagat Raya....

Hamiwiti sung angidung,
Gita parwa wayah ratri,
O,
Rinengga sang Sasadara,
O,
Lan Kartika Daradasih,
Maya-maya angelangut,
Samar jroning ratri,
O,
O,
Tembang dasih manuhara,
O,
O. [1]


Dalam ruang persemadian yang tertututup rapat, gelap tanpa cahaya sedikitpun. Hanya ada kesunyian. Suara yang terdengar hanya bunyi hembusan halus nafas. Tak sampai sedepa jarak keduanya. Namun, dalam kegelapan seperti itu, keduanya tak dapat saling melihat. Kedua insan itu tak bergerak, menutup ‘babahan hawa sanga’. Lama tak ada gerak apapun. Tak ada suara apapun. Tak ada keinginan apapun. Tak ada bayangan apapun. Tak ada citra apapun. Tak ada gemerisik apapun. Tak ada sentuhan apapun. Semuanya serba diam. Semuanya serba hening. Penuh dengan sunyi senyap semata. Sudah setengah malam tak ada yang berubah. Tepat di tengah malam, purnama sudah berada tepat di puncak malam. Cahayanya bersinar terang di angkasa raya.

Hening saja yang terasa. Sunyi saja yang menjelma. Tak ada apa-apa. Tak ada suara apapun.Tak ada gerak apapun. Bahkan asap dupa, mengalir tipis tegak ke atas berdiri bagaikan lidi. Seakan tak bergerak. Asapnya tampak memutih lembut pendar samar-samar. Menyebarkan bau wangi khas ke seluruh ruang malam nan gelap. Waktu serasa berhenti. Jantra seakan tak bergerak. Detak-detak jantung seakan ikut melambat. Berdetak enggan, seakan hendak berhenti. Sunyi sepi yang terasa. Suhu tubuhpun perlahan turun. Dingin terasakan merambati tubuh kedua insan itu. Seakan membekukan segalanya.

Dentang genta tengah malam telah lewat. Udara dingin menjelang pagi. Tiga-per-empat malam telah dilampaui. Lalu, perlahan-lahan, bagaikan samar-samar hampir takterdengar, Suluk Mantra Manyura dilantunkan perlahan. Suara nadanya meremang dalam kekelaman malam sepi. Membawa serta mimpi-mimpi ke alam maya. Menghadirkan kesadaran akan manusia dan Sang Pencipta. Menghadirkan suluh penerang sanubari yang gelap. Bait demi bait terlampaui perlahan, dalam lantunan sendu tembang nada Pesisir dari masa lampau.


O,
Sun arsa mateg mantra Manyura,
Samar kadya tan katon wujude,
Angelangut jroning wengi,
Samar kadya ginawa ing samirana,
O,

Sumusup sajroning nala,
Kinembangan mantra sajuga,
Tan samar pamoring suksma,
Sinuksmaya ing asepi,
O,

Jroning layap liyeping aluyup,
Dhuh Gusti jejimat ingsun,
Sun memba dadya kang sun karsa. [2]



Selewat suara Tembang Suluk Mantra Manyura itu, hanya kesunyian yang terasakan. Tak ada suara apapun. Kegelapan dan dingin terasa menggigit kulit di dalam kelam. Masih tak nampak apapun jua. Hanya gelap semata di sekeliling seluruh ruang itu. Dan,masih juga bau asap dupa terasa menyeruak. Membawa serta seluruh suasana menjadi semakin lengang mencekam.

Tiba-tiba saja, terdengar suara bisik Sang Wisrawa, perlahan memulai menurunkan seluruh ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi. Suaranya yang berbisik, hampir-hampir tak terdengar. Semuanya masih dalam posisi diam membisu. Suara bisik sangat perlahan berlangsung terus. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Bait demi bait. Pupuh demi pupuh. Bagian demi bagian. Ditimpal suara dengung serangga malam. Di antara kesunyian malam. Di antara keduanya. Semuanya diterima perlahan-lahan, penuh dengan penyerahan jiwadan raga. Penuh dengan penerimaan yang amat luar biasa. Penuh pasrah. Segalanya berjalan amat sangat perlahan. Penuh kahalusan perasaan. Bagai merambat didalam gelap. Bagai merambat perlahan ke dalam seluruh permukaan kulit raga. Menggetarkan hati. Menggetarkan rasa. Membuat seluruh bulu kuduk di tubuh bergetar berdiri merinding. Membuat rasa dan karsa menyatu dalam keheningan. Membuat segalanya menjadi hening tanpa penolakan. ‘Pindha layap liyeping aluyup’, merayap lambat memasuki seluruh relung-relung hati yang paling dalam.

Tiga-per-empat malam terlewati sudah. Peluh hangat mengucur deras di antara dinginnya malam yang benar-benar terasa sunyi. Penyampaian ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ telah hampir sampai pada puncaknya. Masih bersama dengan mengucur derasnya peluh dari seluruh permukaan kulit, bisikan kalimat terakhir,sudah mulai disampaikan Begawan Wisrawa. Pesan-pesan penuh makna dibisikkan dekat ke telinga Dewi Sukesi. Seperti awalnya. Semuanya dilakukan dalam bisik halus yang hampir tak terdengar. Dan, akhir dari seluruh penyampaiannya itupun akhirnya tiba...

Di luar bangunan sasana persemadian, udara terasa amat dingin. Udara malam masih terasa mencekam. Embun pagi mulai turun merebak di dedaunan. Bintik-bintik embun mulai merebak di permukaan setiap daun pepohonan dan rumput. Di arah timur, berkas cahaya merah sang Bagaskara, mulai menyemburat. Seakan hendak menyambut pagi hari yang dingin. Kabut menyapu perlahan seluruh halaman istana dan bangunan sasana persemadian. Semuanya masih terasa sangat sunyi. Hanya sesekali terdengar suara kokok ayam dan suara kicau burung. Pemandangan menjadi kabur oleh kabut yang datang menggelayuti angkasa. Suasana terasa tenang. Tak ada yang mengusik. Tak ada yang terdengar, selain suara kicau burung dan kokok ayam jantan sesekali.

Di dalam ruang gelap, dua insan, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, masih duduk bersila berhadapan seperti semula. Keduanya diam tak bergerak bagaikan ‘tugu sinukarta’. Segalanya telah usai. Pengetahuan yang disampaikan kepada Dewi Sukesi telah tuntas seluruhnya. Perlahan-lahan, Dewi Sukesi berusaha membuka mata. Ia merasa pandangannya kabur. Nanar takjelas. Tetapi di dalam hari sanubarinya, Dewi Sukesi merasa seperti baru dilahirkan. Ada perasaan yang tak terperikan terasa menyeruak di dalam hatinya. Sukar untuk diceritakan. Sukar untuk dikatakan. Dalam kegelapan, mata Dewi Sukesi akhirnya bisa melihat samar-samar seorang lelaki baya, yang semalaman telah mengajarkan kepadanya seluruh pengetahuan tentang kehidupan dan takdir. Perlahan-lahan kesadarannya semakin pulih. Ia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Lidahnya terasa kelu. Mulutnya bagaikan terkunci. Dalam kegelapan pagi, matanya perlahan memandang takjub kepada seorang laki-laki yang duduk bersila di hadapannya. Semakin lama ia memandang, semakin membuat hatinya tak hanya takjub, tetapi juga terpesona. Di dalam keremangan pagi yang dingin, Dewi Sukesi seakan melihat Begawan Wisrawa sebagai dewa yang turun dari kahyangan. Seakan-akan ia sengaja menemui dirinya, sengaja mengubah takdirnya, sengaja hendak bertemu dirinya.

Tiba-tiba saja, Dewi Sukesi merasa ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam hatinya. Tetapi ia tak bisa mengatakannya. Pikirannya terasa seperti beku. Ia hanya merasa heran, mengapa saat bertemu sehari sebelumnya, ia sama sekali takmerasakan keanehan itu. Saat pertama kali bertemu, ia merasa bertemu dengan orang yang sudah tua renta. Dan, memang Begawan Wisrawa dikenalkan kepadanya sebagai sahabat ayahandanya, yang mewakili puteranya untuk melamar dirinya. Hanya itu saja yang diketahuinya dari pertemuan pertamanya. Sama sekali tak adahal yang aneh, khusus, atau menarik dari pertemuan pertama itu. Semuanya berjalan begitu saja.

Tetapi, saat ini, di dalam kegelapan ruang pertemuan ini. Dewi Sukesi seperti menemukan lentera pencerah yang tak pernah ditemukannya selama ini. Lentera yang tiba-tiba saja menyala di dalam hati kecilnya. Menyala semakin lama semakin besar. Bahkan semakin lama, lalu membakar seluruh nalar dan perasaannya. Pandangannya tentang Begawan Wisrawa, tiba-tiba saja lalu berubah. ‘Kaya diwalik paningale’ (bagai dibalik penglihatannya). Ia tak lagi melihatnya sebagai lelaki tua renta. Di hadapannya, segalanya seperti berubah seketika. Di dalam kelam, yang terlihat adalah Wisrawa yang tampan, dengan tubuh tegap, dan sangat mempesona; dalam balutan baju berkain panjang, yang berwarna putih bersih. Di hadapannya, tiba-tiba saja Dewi Sukesi seperti melihat laki-laki pujaan hatinya, yang selama ini selalu dimimpikannya dalam tidur-tidur malamnya. Tiba-tiba saja, timbul rasa rindu yang tak terkirakan. Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, Dewi Sukesi seperti merasakan aliran darah di tubuhnya semakin cepat. Lalu, detak jantungnya tiba-tiba saja berubah menjadi berdetak cepat tak terkendali.

Suhu tubuh Dewi Sukesi terasa semakin hangat. Bahkan, ia merasakan tubuhnya seperti terbakar. Otaknya seperti tak dapat berpikir secara jernih lagi. Perasaannya berubah menjadi tak tenang. Ada timbul rasa menggebu-gebu yang tak terkirakan. Ada perasaan gamang yang tak bisa dikendalikannya. Jari-jari tangannya terasa panas dan bergetar. Dewi Sukesi masih berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dirinya. Hanya berhasil beberapa saat. Entah bagaimana, sesaat kemudian Dewi Sukesi merasa seperti merindukan sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Dewi Sukesi berusaha memejamkan matanya. Namun, dalam pejaman matanya Dewi Sukesi justru melihat ketampanan Wisrawa, seakan tersenyum kepadanya.

Dengan tubuh dan tangan gemetar dan mata nanar, Dewi Sukesi berusaha menggerakkan tangan dan tubuhnya. Ia berusaha menyentuh tubuh Begawan Wisrawa yang tengah duduk bersila dihadapannya. Gerak yang tak terkendali itu, membuat tubuh Dewi Sukesi mendadak limbung dan akhirnya rubuh ke pangkuan Begawan Wisrawa! Dewi Sukesi seperti tak sadarkan diri. Hilang segala kekuatan tubuhnya. Hilang pula kemampuannya untuk bertahan. Dalam hitungan sekilatan petir, tubuh Dewi Sukesi yang tiba-tiba rubuh itu, sudah dalam pelukan Begawan Wisrawa. Dewi Sukesi sesaat seperti merasa mau pingsan. Nafasnya tersengal-sengal, seakan kesulitan mencari udara segar. Detak jantungnya berdebar keras tak terkendali. Antara sadar dan tidak sadar, Dewi Sukesi masih bisa merasakan tubuhnya jatuh dan tiba-tiba saja ia merasakan kehangatan yang luar biasa. Dalam kegelapan, Dewi Sukesi memeluk erat tubuh Begawan Wisrawa. Lalu semuanya terasa gelap.

Dewi Sukesitak bisa merasakan berapa lama ia pingsan dalam posisi memeluk tubuh Begawan Wisrawa. Tetapi, saat ia sadar, tubuhnya masih berada dalam pelukan Begawan Wisrawa. Wajah Dewi Sukesi terbenam ke dalam dada sang Begawan Wisrawa yang bidang. Ia bisa merasakan betapa hangat dada Begawan Wisrawa. Bahkan ia bisa merasakan dan mendengar suara detak jantung Begawan Wisrawa yang berdetak kencang seperti dirinya. Dalam keremangan pagi, samar-samar mata Dewi Sukesi bisa melihat betapa degup jantung Begawan Wisrawa membuat dadanya bergerak naik-turun tak teratur. Ada perasaan aneh yang selama ini tak pernah dirasakannya. Ada perasaan rindu tak terperikan yang belum pernah dirasakannya selama hidupnya. Dan, tiba-tiba saja, timbul rasa ingin yang luar biasa. Setengah sadar, Dewi Sukesi berusaha memeluk erat tubuh Begawan Wisrawa. Sentuhan dan bau tubuh Begawan Wisrawa seakan berubah menjadi sihir yang membuat Dewi Sukesi terlena dan lupa segalanya.

Di dalam gelap, di dalam keremangan pagi buta yang dingin itu, di dalam kesunyian ruang pertemuan itu, tiba-tiba saja segalanya lalu berubah menjadi panas membakar. Tak tahu siapa yang memulai. Dalam hitungan lima tarikan nafas, keduanya sudah terlibat hubungan yang tak seharusnya dilakukan. Nafas yang semula halus, berubah menjadi dengus nafas yang memburu penuh dengan geliat nafsu. Keduanya, tiba-tiba saja sudah saling merenggut, saling memburu, saling menggigit, saling menjatuhkan, saling menindih, saling memagut, saling memeluk, saling mengerang, dan saling merengkuh kenikmatan duniawi. Begawan Wisrawa seketika lupa segalanya. Lupa bahwa ia mewakili puteranya. Lupa bahwa ia sebenarnya tak boleh berbuat. Lupa segalanya. Begitu pula Dewi Sukesi. Tubuhnya seakan memberontak tak rela, saat sang Begawan Wisrawa hendak melepaskan diri. Jari-jari tangannya mencengkeram kuat-kuat tubuh sang Begawan Wisrawa, seakan tak rela melepaskannya. Lupa diri telah menguasai keduanya. Saling menggeliat tubuh keduanya, saat berusaha menggapai puncak. Jari-jari tangan Dewi Sukesi mencengkeram dan mencakar tak keruan, dengan tubuh semakin mengejang, saat ia berusaha memuaskan dahaganya. Nafas keduanya seperti tercekik, dengan dengus liar, ditimpali dengan erangan ganas, saat keduanya mencapai puncak kenikmatan.  Tiba-tiba saja, kedua tubuh itu tiba-tiba saja berubah menjadi diam kejang sejadi-jadinya. Selama beberapa saat, tubuh keduanya tak ada yang bergerak. Keduanya mencapai puncak kenikmatan yang tak terkirakan. Terengah-engah nafas keduanya memburu di antara cucuran peluh, saat keduanya melewati puncak kenikmatan duniawi. Lalu semuanya berakhir. Beberapa saat, tak ada suara apapun yang terdengar. Hanya terdengar suara dengkur halus, yang menandakan kedua insan yang lupa diri itu tertidur lelap dalam buaian yang memabukkan. Tubuh keduanya masih saling berpelukan erat, seakan tak akan mau melepaskan. Rasa lelah yang luar biasa itu, telah membuat keduanya lama tertidur lelap, bersimbah peluh.

Sementara di luar ruangan terjadi kegemparan, setelah lebih dari semalaman pintu ruang persemadian itu tak terbuka juga. Sedangkan dua insan yang ada di dalamnya, yakni Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, juga tak kunjung keluar. Situasi ini, membuat curiga sejumlah punggawa dan pejabat istana Negeri Alengka. Karena lama ditunggu tak keluar juga, akhirnya Radyan Sukesa, adik Dewi Sukesi berusaha menggedor pintu ruang persemadian. Semakin lama, semakin jengkel perasaan Radyan Sukesa, sehingga akhirnya ia menggedor pintu ruang persemadian sambil memaki-maki Begawan Wisrawa. Begawan Wisrawa terbangun oleh keributan di luar ruang itu. Sampai di luar ruang, Begawan Wisrawa beberapa saat menghadapi Radyan Sukesa, yang masih juga memaki-maki dirinya. Karena jengkel, Begawan Wisrawa seketika timbul amarahnya. Radyan Sukesa, dikutuk oleh Begawa Wisrawa dan terkena sawab ‘SastraJendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, sehingga tubuhnya berubah menjadi raksasa. Radyan Sukesa yang tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi raksasa, sangat menyesali perbuatannya. Ia lalu meminta ampun dan meminta Begawan Wisrawa untuk me-‘ruwat’ dirinya. Namun, Begawan Wisrawa mengatakan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Radyan Sukesa yang telah berubah wujud itu, kemudian mengubah namanya menjadi Radyan Prahasta.[3]

Di hadapan sahabatnya, Prabu Sumali, Begawan Wisrawa meminta maaf dan berjanji akan bertanggung-jawab atas terjadinya malapetaka yang terjadi. Dewi Sukesi akhirnya menikah dengan Begawan Wisrawa. Pada saat yang sama, Prabu Sumali yang bertubuh raksasa, juga meminta kepada Begawan Wisrawa untuk ‘me-ruwat’ dirinya menggunakan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat,Pangruwating Diyu’ . Permintaan itu disetujui Begawan Wisrawa, dan Prabu Sumali kemudian diruwat  oleh Begawan Wisrawa, sehingga seketika tubuhnya berubah menjadi manusia yang tampan.

Sementara di Negeri Lokapala, Prabu Danapati mendapat berita dari punggawanya yang bernama Tenung Goh Muka, bahwa ayahandanya yang berangkat mewakili dirinya, justru akhirnya menikah dengan Dewi Sukesi. Mendengar berita itu, Prabu Danapati amat sangat marah. Tanpa menunggu waktu, ia dan seluruh pasukannya berangkat menyerbu Negeri Alengka. Sesampai di Negeri Alengka, Prabu Danapati menantang perang dan meminta supaya Begawan Wisrawa keluar dari benteng. Namun, tantangan itu tidak dilayani oleh Begawan Wisrawa. Terdorong kemarahannya yang semakin memuncak, Prabu Danapati memerintahkan pasukannya untuk membakar Negeri Alengka.

Untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar, Begawan Wisrawa akhirnya keluar dari benteng untuk menemui anaknya, Prabu Danapati. Menggunakan kereta perang yang ditarik delapan ekor kuda putih, Begawan Wisrawa memacu kereta perangnya melewati lautan api, yang berkat kesaktiannya, lautan api yang dilewatinya itu seketika padam. Pertemuan bapak dan anak itu, sekarang berubah menjadi puncak-puncak kebencian yang luar biasa. Dengan kemarahan yang memuncak, Prabu Danapati menghunus keris pusakanya dan menusukkan ke tubuh ayahandanya, Begawan Wisrawa. Pada saat ditusuk keris oleh anaknya, Begawan Wisrawa tak melawan sama sekali. Keris yang ditusukkan ke tubuh Begawan Wisrawa tak mempan membunuhnya.

Pertempuran keduanya berlangsung lama dan tak berkesudahan, sehingga membuat para dewa menjadi risau. Akhirnya, diutuslah Bathara Narada untuk memisah keduanya. Atas permintaan Bathara Narada, pertempuran ayah dan anak itu akhirnya dihentikan. Ayah dan anak yang saling bertempur itu, menghaturkan sembah baktinya kepada dewa yang telah berkenan menghentikan pertempuran keduanya. Bathara Narada lalu menasehati keduanya, supaya menghentikan permusuhan. Sedangkan kepada Prabu Danapati, Bathara Narada tetap mempersalahkan dirinya. Pertama, Prabu Danapati dipandang bersalah karena dianggap menjerumuskan ayahandanya, sehingga ayahandanya mengalami peristiwa pertemuan dengan Dewi Sukesi, yang berakhir dengan diajarkannya ilmu pengetahuan ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada seseorang, yang dipandang tidak tepat sebagai penerima ilmu itu. Kedua, Prabu Danapati dipandang bersalah, karena melawan orang tuanya sendiri. Ketika mendengar nasehat Bathara Narada, seketika itu pula timbul penyesalan pada diri Prabu Danapati. Ia lalu meminta maaf kepada ayahandanya. Dan, untuk menebus kesalahannya, Prabu Danapati juga menyampaikan rasa penyesalannya dengan mengatakan (mengutuk dirinya sendiri) bahwa pada suatu ketika nanti, ia ingin mati oleh salah satu anak yang dihasilkan dari pernikahan antara ayahandanya dengan Dewi Sukesi.[4] 


Cerita versi pertama dan kedua

Cerita di atas, merupakan versi yang paling banyak ditampilkan oleh para dhalang wayang kulit purwa. Namun, ternyata ada cerita versi lain yang sangat berbeda, yang nyatanya juga kurang dikenal, serta jarang dimainkan oleh para dhalang wayang kulit purwa. Pada versi kedua ini, diceritakan bahwa Dewi Sukesi sebenarnya berhasil mengatasi semua ujian fisik dan psikologis, selama proses penerimaan seluruh ajaran ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Pada versi kedua ini, Dewi Sukesi diceritakan berhasil mempraktikkan ilmu ‘SastraJendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ untuk ‘meruwat’  ayahandanya, Prabu Sumali; sehingga berubah menjadi manusia yang tampan. Sedangkan pada cerita versi pertama, proses meruwat  diri Prabu Sumali ini, dilakukan oleh Begawan Wisrawa.

Pada cerita versi pertama, diceritakan bahwa selama proses pengajaran ilmu ‘Sastra JendraHayuning Rat, Pangruwating Diyu’ itulah terjadi persetubuhan antara Dewi Sukesi dengan Begawan Wisrawa. Sedangkan pada cerita versi kedua, sama sekali tidak terjadi persetubuhan di antara keduanya. Pada cerita versi kedua, Dewi Sukesi akhirnya memang menikah juga dengan Begawan Wisrawa, tetapi pernikahannya bukan karena keterpaksaan, melainkan karena sesuai persyaratan yang diajukan, DewiSukesi bersedia menikah hanya dengan pria yang berhasil menjabarkan dan mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada dirinya. Karenanya, Dewi Sukesi tidak bersedia dinikahkan dengan Prabu Danapati, karena bukan dia yang berhasil menjabarkan dan mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada dirinya, melainkan ayahandanya. Cerita versi kedua ini, oleh sahabat saya dinyatakan pernah dipentaskan dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa oleh seorang dhalang dari Surakarta yang bernama Ki Naryo Carita. Penjelasan lain yang juga disampaikan oleh sahabat saya itu, menyatakan bahwa cerita versi pertama lebih dikenal sebagai cerita versi Jawa. Sedangkan cerita versi kedua, dinyatakan sebagai cerita versi Sunan Kali Jaga. Secara obyektif, kedua versi cerita diatas, sebenarnya sama-sama masuk akal dan logis alur cerita maupun peristiwa yang disampaikannya. Namun, pada cerita versi yang kedua, terasa mempunyai nuansa ajaran tentang kehidupan yang lebih baik. Misalnya, bahwa Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa dinyatakan berhasil melewati ujian psikologis yang lua rbiasa berat, yakni keduanya berhasil mengatasi dan mengendalikan nafsu jasmaniah duniawinya, sehingga di antara keduanya tidak terjadi persetubuhan selama proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ dilaksanakan. Ini merupakan sebuah pemahaman, yang sebenarnya secara obyektif harus dikatakan memang jauh lebih baik, meskipun versi yang kedua ini nyatanya memang kurang dikenal.  

_______________________________

[1]      Terjemahan bebas: Mulailah  hamba melantunkan,| Tembang kuna saat malamhari, | O, | Berhiaskan Sang Bulan (purnama),| O,| Dan Bintang Daradasih,|Sayup-sayup menyeruak,| Samar di saat malam hari,| O,| O,| Nyanyian indah nanmenarik,| O,| O.

[2]      Terjemahan bebas: O, | Aku hendak membacaMantera Manyura,| Samar-samar bagaikantak nampak wujudnya,| Sayup-sayup padasaat malam,| Sayup bagai dibawa olehangin,| O,| Merasuk ke dalam hati,| Berhiaskan sebuah mantera,| Tak samar lagi akan kejernihan jiwa,| Yang mendapat penerangan jiwa di saat sunyi,|O,| Saatberada di antara (mata yang) terpejam dan terjaga,| Duh Gusti (Tuhan) jimat hamba,| Aku menginginkan diriku seperti yang kuinginkan...

[3]      Di masa selanjutnya, yakni pada masapemerintahan Prabu Rahwana atau Prabu Dasamuka, Radyan Prahasta diberikedudukan sebagai maha-patih Negeri Alengka, dan berjuluk Patih Prahasta.

[4]      Dari pernikahan Begawan Wisrawadengan Dewi Sukesi, akhirnya lahirlah empat anak, yaitu Rahwana (Dasamuka), Kumba-Karna,Sarpa-Kenaka, dan Gunawan Wibisana. Di masa kemudian, Prabu Danapati akhirnya memangterbunuh oleh Rahwana.

Rabu, 24 Juli 2013

BIMA, SEORANG KSATRIA DAN MAHASISWA YANG TEGUH, TEGAR, DAN BIJAK MENETAPKAN SIKAP

Sahabat-sahabat kinasih saya,

Kali ini, kita berhadapan dengan tokoh Bima dan belajar darinya tentang makna seorang guru dan perannya dalam kehidupan kita. Semoga tulisan ini bisa membawa kita menjadi manusia yang jauh lebih baik dan lebih bijak. Terima-kasih juga saya ucapkan kepada sahabat kinasih saya Iskandar Sumowiyoto, yang telah mengingatkan saya, tentang tokoh Bima ini.....

Bima, adalah murid yang sangat patuh kepada gurunadinya, yaitu Sang Pandhita Durna. Sebagai seorang murid yang sangat menghormati gurunya, Bima bahkan bersedia melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak masuk akal sehat, hanya untuk memenuhi permintaan gurunya. Tetapi, Bima adalah seorang ksatria yang tidak hanya memakai rasa semata, tetapi juga memakai akal dan otaknya untuk mencerna berbagai hal yang diminta untuk dijalankan oleh gurunya. Berbagai permintaan gurunya itu, menjadikannya berpikir dan merenungkannya dalam-dalam, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa seorang guru memperlakukan dirinya seperti itu.

Perenungan yang dalam, hening, tenang, dan tidak direcoki hawa nafsu dan emosi; serta kepasrahannya kepada Gusti Yang Murbeng Jagat, membuat Bima disadarkan atas jati dirinya, atas baik dan buruk peri-lakunya, atas tanggung-jawabnya terhadap masa depannya, atas hubungan dan perannya dengan hati kecilnya, atas perannya sebagai seorang ksatria yang berdarma bakti utama, serta pemahamannya atas hubungan antara guru dan murid. Karena itu pula, permintaan gurunya yang sampai pada tahap tidak masuk akal sekalipun, dimaknai sebagai suatu petuah guru yang harus diturut, tetapi dalam konteks tidak diturut mutlak begitu saja. Karena itu pula, Bima tidak pernah menyatakan 'tidak sanggup' kepada gurunya. Dalam cerita yang manapun, Bima selalu mengatakan kesanggupan lebih dahulu dengan sepenuh hati dan tanpa keraguan sedikitpun. Setelah dijalani, barulah Bima membuat kesimpulan berdasar kerendahan hati, kebeningan hati, dan wawasan pengetahuan raga dan rasa yang menjadi bekal kehidupannya.

Meskipun akhirnya Bima juga sadar dan memahami bahwa Pandhita Durna sebenarnya hendak mencelakakan dirinya, tetapi ia tetap sangat menghormati Pandhita Durna sebagai gurunya. Kesadaran dalam hati nuraninya yang bening, menjadikan ia memahami, bahwa jika saja fatwa dan permintaan Pandhita Durna itu tidak pernah disampaikan kepadanya, maka ia besar kemungkinan ia juga tidak akan pernah menemukan jati dirinya. Bahkan, sangat mungkin ia juga tidak akan pernah bisa bertambah wawasan, kepandaian, dan ilmu pengetahuannya. Jadi, dalam pemahaman Bima, permintaan Pandhita Durna itulah yang membuat Bima akhirnya bisa menemukan jalan untuk menjadikan dirinya seorang ksatria berdarma utama, obyektif, dan tetap memakai kedua kemampuan (rasio dan rasa), yang dikaruniakan kepadanya oleh Yang Maha Menguasai Hidup dan Matinya.....

Sesungguhnya, Bima sudah berperan dan bertindak menjadi seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga menjadi seorang mahasiswa yang mempunyai wawasan sangat terbuka, serta memakai dua kemampuan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya secara seimbang dan bijaksana. 

Sekarang, cobalah kita bandingkan dengan diri kita sendiri. Sudahkah kita bersikap seperti Bima? Untuk membangun bangsa Indonesia, kita memerlukan berjuta-juta Bima, dan bukannya satu atau sekedar dua Bima semata. Lalu, coba juga renungkan peran guru-guru atau dosen-dosen anda yang dulu pernah mengajar diri anda. Bukankah anda juga pernah bertemu dengan guru atau dosen yang juga pernah berperi-laku seperti Pandhita Durna? Guru atau dosen yang di mata khalayak muridnya dipandang sebagai orang yang selalu memojokkan dan membuat anda kepada sejumlah kesulitan, karena memberi tugas yang menyulitkan dan mungkin juga tidak masuk akal. Bagaimana sikap anda saat anda sudah dewasa sekarang? 

Semoga anda semua sahabat-sahabat saya bisa belajar dari seorang Bima, dan menjadikan kehidupan anda semua menjadi jauh lebih baik dan lebih bijak. Dan, bisa mengarungi badai di samodra kehidupan secara tegar, teguh, dan tanpa ragu-ragu sedikitpun. Semoga.

Salam hangat dan hormat saya untuk anda semua, sahabat-sahabat kinasih saya.

Bram Palgunadi


Bima, seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga seorang 'mahasiswa', dan sama sekali bukanlah seorang 'minisiswa', yang menerima dan menelan mentah-mentah begitu saja semua kata-kata gurunya. Ia merupakan gambaran manusia yang selalu teguh dan tegar dalam pendirian, serta bijak dalam bersikap.
Bima, seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga seorang 'mahasiswa', dan sama sekali bukanlah seorang 'minisiswa', yang menerima dan menelan mentah-mentah begitu saja semua kata-kata gurunya. Ia merupakan gambaran manusia yang selalu teguh dan tegar dalam pendirian, serta bijak dalam bersikap.

MENGAPA BIMA BISA LEBIH PANDAI DARI PADA PANDHITA DURNA GURUNYA?

Sahabat kinasih saya Iskandar Sumowiyoto, bertanya kepada saya: "Kita sudah menghasilkan begitu banyak sarjana, tetapi mengapa bangsa kita tidak bisa semaju bangsa lain?" Terus terang, ini merupakan pertanyaan menggelitik yang sangat mengganggu hati sanubari dan emosi saya. Di bawah ini, tulisan asli Mas Iskandar dalam bahasa Jawa.

Bener Mas Bram. Bima dadi ksatria sing pinter lantaran Pandita Durna. Nanging wusanane, kapinterane Bima dhuwur ngungkuli kapinterane sang Gurunadi Pandita Durna. Nah apa darunane, dene saya akeh sarjana, nanging geneya negara tetep durung bisa maju katimbang negara manca. Apa gurune sing durung padha netepi darmane? Mara gage mas Bram sajarwaa, aku nedya ngangklungaken jangga nilingaken karna.

Terus satu ungkapan lagi dinyatakan olehnya.

Budhalan jadi guru. Minat orang jadi guru sekarang meningkat. Konon katanya gajinya gede. Lebih-lebih kalau sudah dapat tunjangan sertifikasi. Hasilnya..., Program sertifiasi gak ngaruh terhadap out-putnya, yaitu peserta didik. NEM dari tahun ke tahun di SD Kampungku ya segitu-segitu saja, dari mulai gurunya masih wiyatabakti hingga sekarang telah memperoleh sertifikasi.

Banyak sarjana dihasilkan, tapi negara kita belum bisa maju. Itu banyak sebabnya. Salah satu yang menurut saya penting untuk direnungkan adalah peran guru atau dosen; serta peran muridnya.

Sebagian besar guru atau dosen, juga muridnya; belum bisa menerapkan darmanya sebagai manusia merdeka. Guru atau dosen,tidak bersedia berperan melakukan 'darma baik'. Kalau guru dan dosennya tidak bersedia melakukan 'darma baik', bagaimana muridnya bisa mempunyai 'darma baik' di masa depan? 

Banyak guru dan dosen yang mengajar hanya sebatas 'sebagai pegawai yang dibayar untuk mengajar'. Bukan membukakan ilmu pengetahuan dan wawasan, serta meyakinkan muridnya bahwa ilmu pengetahuan tak akan ada artinya jika tanpa laku dan tindakan. Banyak yang akhirnya mengajarkan ilmu sebatas seberapa besar bayarannya. Murid seharusnya memang harus lebih pintar dan jauh lebih sakti dari pada gurunya. Celakanya, banyak guru dan dosen yang tidak rela dikalahkan oleh muridnya. Murid yang baik, seharusnya tidak bergantung kepada guru atau dosennya, melainkan harus bisa mengungguli. Dosen atau guru, seharusnya berperan membekali muridnya. Sehingga si murid harus bisa melesat ke angkasa bagaikan anak panah. Jika guru atau dosennya tidak bersedia dikalahkan muridnya, maka yang terjadi murid akan selalu menjadi 'anak bawang', yang tidak akan pernah bisa melesatkan cita-cita dan mimpinya setinggi bintang. Kalau hal ini yang terjadi, maka dosa yang paling besar terletak pada guru atau dosennya.....

Tanyalah pada gurumu atau dosenmu, apa ilmu yang dimilikinya, dan apakah ilmu itu dia yang mengembangkannya sendiri, atau ia sekedar mengajarkan ilmu orang lain? Kenyataannya, jawaban yang terbanyak adalah mereka menjadi pengajar ilmu orang lain. Ini menjadi salah satu hal yang membuat kita tidak merdeka dan tidak bisa maju. Bagaimana bisa maju? Kalau mereka mengajarkan ilmu milik orang lain. Tentu saja orang lain (si pemilik ilmu) akan jauh lebih pintar dari dia bukan?

Tanyakan juga pada guru atau dosenmu, buku teori apa yang sudah dia tulis untuk muridnya? Atau, penelitian apa yang sudah dia lakukan untuk kemajuan bangsanya? Atau, benda apa yang sudah dia buat untuk bangsanya? Atau, apa yang sudah dia lakukan untuk masyarakat di sekelilingnya? Tanyakan juga, jika dia tidak dibayar, apa dia masih mau dia berbagi ilmu dan tetap mengajar murid-muridnya? Lalu hitunglah dengan sepuluh jari tanganmu, berapa orang guru atau dosen yang melakukan 'darma baik'. Besar kemungkinan, engkau tidak akan bisa mendapatkan sepuluh orang guru atau dosen yang memenuhi 'darma baik' itu. Padahal, untuk bisa memajukan suatu bangsa, kita memerlukan berjuta guru dan dosen yang sanggup melakukan 'darma baik' untuk murid-muridnya....

Indonesia memang masih belum waras. Dan, guru atau dosen yang bersedia melakukan 'darma baik' masih terlampau sedikit. Kalau orang lain tidak mau melakukannya, mengapa kita tidak berdiri saja di garda paling depan dan melakukan 'darma baik' sebisa kita dan semampu kita. Meskipun mungkin kita harus melakukannya sendirian dan mungkin juga harus melawan arus. Maju terus pantang mundur! Rawe-rawe rantas,malang-malang putung! Jangan takut, Yang Berkuasa Atas Hidup dan Mati kita, tak pernah tidur! Colok lintang obor rembulan, jadilah manusia dewasa, meskipun dengan segala keterbatasan, bangkit dan mulailah dari sekarang, dan berangkatlah segera menuju masa depan, teguhkan hati dan niatmu, menerjang badai dan gelombang samodra luas tak bertepi, menuju tanah harapanmu......


Mempersiapkan murid menjadi seorang dewasa, yang berani menempuh badai, bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana dan sejak dini.
Mempersiapkan murid menjadi seorang dewasa, yang berani menempuh badai, bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana dan sejak dini.

Apakah seorang guru atau dosen harus menjadi sosok manusia yang ditakuti muridnya? Kalau ini yang terjadi, jangan harap murid akan menjadi sosok yang berani melesatkan cita-cita dan mimpinya jauh setinggi bintang.
Apakah seorang guru atau dosen harus menjadi sosok manusia yang ditakuti muridnya? Kalau ini yang terjadi, jangan harap murid akan menjadi sosok yang berani melesatkan cita-cita dan mimpinya jauh setinggi bintang.

Guru atau dosen dengan muridnya, seharusnya mempunyai relasi yang cukup baik dan erat. Sehingga murid bisa cukup bebas mengungkapkan berbagai kesulitan dan halangan yang dihadapinya.
Guru atau dosen dengan muridnya, seharusnya mempunyai relasi yang cukup baik dan erat. Sehingga murid bisa cukup bebas mengungkapkan berbagai kesulitan dan halangan yang dihadapinya.


CANGIK DAN LIMBUK, DUA SAHABAT DENGAN KESETIAAN TANPA BATAS

Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.
Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu, mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.



Di dunia pewayangan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan 'keputren' di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh dikatakan selalu ada di setiap pagelaran wayang. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah 'dua sahabat' dan bukannya memakai istilah 'dua wanita'. Memang keduanya, Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya sudah meningkatkan level dirinya, menjadi 'dua sahabat' bagi sang putri atau permaisuri yang diikutinya.

Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang, khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai 'pembantu' seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yang bisa dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka berdua, Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yang kita kenal. Mereka berdua, adalah 'panakawan', yang artinya 'sahabat'. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yang peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan ksatria yang lebih banyak diekspos dan ditampilkan.

Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak sebagai 'rewang' bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yang bernama 'Limbuk", keduanya merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka berdua, bukanlah orang biasa! Mereka berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang, mereka berdua itu termasuk orang-orang yang 'berada di lingkaran ring satu', yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga 'pemegang rahasia' sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yang bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator, menko).

Cangik dan Limbuk, bukanlah 'babu' seperti yang banyak digambarkan orang. Mereka berdua, adalah 'rewang'. Dalam bahasa Jawa, artinya 'orang yang membantu'. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah 'pembantu' (babu). Rewang, artinya 'penolong'. Istilah 'ngrewangi', artinya membantu atau menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya [1], dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang 'rewang' akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yang sama dengan junjungannya. Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yang diikutinya.[2]  Mereka bukanlah 'orang belakang', tetapi lebih tepat disebut sebagai 'orang dalam'. Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yang sangat  luar biasa, yang berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah 'parekan' (dayang-dayang). Kalau di jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut 'asisten pribadi'.

Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.

Cangik dan Limbuk, menggambarkan 'asisten pribadi' seorang putri/wanita. Di negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang nyata). Bahagialah anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang tanpa batas. Selamat merenungkan......

________________________________

 [1] Saya mempunyai seorang sahabat karib (seorang pria) bersuku-bangsa Jawa, yang rumah-tangganya berantakan, gara-gara isterinya selingkuh dengan seorang pemuda yang kost di rumahnya. Rewangnya, seorang wanita tua, dengan berani dan tanpa ragu-ragu memarahi majikan perempuannya dan mengusir kedua pasangan selingkuh itu dari rumah tinggalnya. Selama bertahun-tahun setelah peristiwa itu, sahabat karib saya itu, dirawat, dilayani, dan dijaga oleh rewangnya ini, seperti seorang ibu menjaga anaknya. Hal ini, secara jelas menunjukkan bagaimana peran seorang rewang dalam kondisi yang sebenarnya.

[2] Saya, sewaktu masih kecil, tinggal di Yogyakarta (sekitar tahun 1952 - 1959), sempat merasakan bagaimana seorang rewang keluarga yang bernama Mbok Wirya, setiap hari merawat saya dan adik-adik saya. Mbok Wiryo ini, setiap hari menggendong saya dan menimang-nimangnya seperti anaknya sendiri, seringkali sampai saya tertidur. Saya masih ingat benar, bagaimana Mbok Wiryo, seringkali menggendong diri saya yang saat itu masih kecil, sambil menyanyikan tembang Jawa 'Pendhidisl-pendhisil', 'Jamuran', 'Gathutkaca Edan', 'Cempe-cempe', atau 'Kebon Raja'. Sungguh merupakan kenangan indah di masa kecil saya yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.


________________________________________
Di bawah ini, saya tambahkan cerita Mas Yohanes Triwidiantono, yang sangat menyentuh perasaan.

Yohanes Triwidiantono 09 Mei 5:46

Pak Bram ingkang kinurmatan, Saya juga punya kenangan sepanjang hayat seperti panjenengan; sewaktu kecil (1962 - 1968) saya dimong oleh mbok-dhe Karso, yang adalah suami-isteri tetangga sebelah rumah, tanpa anak. Bukan hanya mbok-dhe Karso yang nggemateni saya, namun juga pakdhe Karso. Oleh orang-tua saya, suami-isteri ini digaduhi sepasang cempe. Tak heran, saya pun sering ikut angon cempe ke ladang. Yang saya tahu adalah saya dijagai melebihi apapun, termasuk memenuhi keinginan dan saya. Suatu saat saya diberi pondoh (pucuk batang pohon kelapa), karena terasa manis lembut dan tidak keras, saya menikmatinya, sayang hanya sedikit karena hanya pembagian entah tetangga mana yang menebang pohon. Saya bertanya asal-usul pondoh itu, dan dijelaskan apa adanya. Ketika suatu saat pakdhe Karso memetik kelapa, saya minta pondoh. Ibu saya terperanjat, dan bilang bahwa yang bisa dipentik hanya dawegan, pondoh tidak bisa dan tidak ada. Saat pakdhe turun tidak membawa pondoh, saya ngambek. Hari berikutnya pakdhe keliling kampung mencari orang menebang kelapa, tidak ketemu, sampai akhirnya ketemu di kampung tetangga ada yang menebang. Dengan segala upaya pakdhe minta pondoh kepada pemilik pohon. Sampai saya menjadi seorang bapak, olok-olok ini masih sering saya dengar dari ayah saya, bahwa asaya minta pondoh pada pemetik kelapa. Setelah sekolah di SD, saya diikutkan ke keluarga kakek-nenek saya yang jaraknya sekitar 10 km. Orang-tua saya bekerja ke Malaysia (1969 - 1973). Sepertinya, ini petaka bagi pakdhe-mbokdhe Karso, hampir tiap minggu menjenguk saya. Keduanya tidak dapat bersepeda, hanya berjalan kaki. Lama-lama berangsur semakin jarang menjenguk saya, tetapi saya tidak tahu penyebabnya. Namun mereka masih tetap berkunjung, yang saya tahu mereka pasti selalu membawa hasil kebun seperti; ketela, nangka, pisang dsb. dan masih setia menunggui sampai saya memakannya. Kunjungan mereka masih saja terus berlangsung hingga saya dewasa, bahkan sepasng cempe yang sudah menjadi belasan ekor tidak pernah diakui sebagai miliknya, tetapi dianggap itu milik saya, padahal ayah saya sudah menyerahkan semuanya kepada mereka. Ketika ada yang dijual, uangnya diberikan kepada saya. Setelah saya dewasa dan kuliah ke luar kota, mereka masih berkunjung ke orangtua saya, mencari-cari saya sambil membawa hasil kebun. Setiap pulang ke Yogya, saya memang kadang menyempatkan mampir ke rumah (sebenarnya gubuk) mereka, hanya sekedar memberi sebotol kecil madu sebagai buah tangan, tapi malah mereka memberi saya beras sekandi. Sekarang, mereka memang sudah tiada, pakdhe Karso sudah sekitar 10 tahun yang lalu, dan mbokdhe sekitar 5 tahun lalu. Tidak ada barang apapun di dunia ini yang dapat menggantikan kasih-sayang mereka kepadaku, juga baktiku kepada mereka tidak akan mungkin sebanding. Gubuknya ditinggali oleh anak angkat (pupon) mereka, tetapi saya tidak kenal. Saya kadang berkunjung ke gubuk itu, tapi tidak ada kata yang dapat menjelaskan apapun mengenai hubungan saya dengan pakdhe dan mbokdhe Karso.

Rabu, 10 Juli 2013

SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS (PART 1)

Srikandhi memang terkenal sebagai gadis yang cantik rupawan, sexy, sensual, dan karena itu pula banyak pria yang tergila-gila padanya. Tetapi kepandaiannya berkelahi sudah jelas membuat ciut para pria teman-teman sebayanya.


Srikandhi sebagai seorang gadis 'tomboy' yang hidup di kalangan keluarga istana Kerajaan Pancala Radya, memang terkenal sebagai seorang gadis yang pandai, bengal, tangkas, pandai berkelahi, sexy, sensual, pandai bergaul, pandai pula bicara, dan berani dalam banyak hal. Matanya yang besar dan selalu berbinar-binar saat memandang lawan bicaranya, seolah memancarkan sihir yang memukau lawan bicaranya. Sehari-hari Srikandhi, selalu berdandan dan menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Namanya juga 'gadis masa sekarang'. Di kampus Universitas Negeri Pancala Radya, ia lebih dikenal sebagai seorang mahasiswi yang pintar, cerdik, berani, banyak pengetahuannya, dan sebagai seorang gadis ia dikenal suka berkata terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Karena ikut grup bela diri, maka Srikandhi juga dikenal sebagai 'gadis pemberani', yang sesekali juga ikut terlibat perkelahian jalanan atau membuat onar. Banyak teman sebayanya, yang tentu saja kebanyakan adalah pria, mengaguminya tetapi sekaligus juga agak takut kepadanya. Keberanian Srikandhi, seringkali juga membuat ciut nyali para pria yang mau naksir dirinya. Bagaimana nggak ciut, Srikandhi yang jago berkelahi itu kan anak penggede pemilik negara, anak Raja Pancala Radya, yang terkenal sebagai negara besar yang kekuasaannya sedemikian luas, dan disegani banyak negara asing.

Sebenarnya, Srikandhi tidak terlalu suka dikawal, ia merasa bisa mengatasi berbagai gangguan 'pria nakal' dan para bergajulan. Tetapi, pihak protokoler istana selalu memaksa untuk mengawalnya kemanapun ia pergi. Hal ini, sedikit banyak sering membuat hatinya jengkel. Gara-gara ada pengawal yang selalu menguntitnya, maka jika ia naksir cowok, selalu saja bubar acaranya, bubar pula rencananya, hanya karena di sekitarnya selalu berdiri beberapa orang satuan pengawal pribadi, yang dengan badan gempal, mata mengawasi dengan tajam, dan selalu bersikap waspada; memata-matai semua kegiatan sang putri nan cantik dan sexy itu. Ini sangat menjengkelkan dan makin lama, sejalan dengan bertambahnya umur sang putri yang semakin menginjak masa remaja, justru semakin ketat saja para pengawal pribadi itu menjaganya. Wuuuuiiiih....! Setiap kali, ada saja berbagai hal yang membuat sang putri ini mencak-mencak, tidak terima, atau marah-marah. Semuanya, gara-gara satuan pengawal pribadi yang menurutnya semakin lama semakin ketat saja mengawasinya, dan menurutnya mereka sama sekali tidak memberikan kebebasan pada dirinya! "Ke kamar kecil saja aku diawasi!" teriaknya suatu ketika, saat sang putri ini kebelet pipis, pas sedang di jalan raya dalam perjalanan pulang kuliah, dan ia dengan tiba-tiba minta berhenti dan langsung melompat ke luar dari mobil, lalu berlari-lari kecil masuk 'mall' mencari 'toilet'.... Tentu saja para pengawal pribadinya menjadi kalang kabut, dan segera ikut meloncat ke luar dari mobil, berhamburan mengikuti sang putri jelita yang berlari masuk ke dalam 'mall' dan terus diikuti sampai ke depan pintu toilet yang di atasnya bertuliskan 'ladies'....

Srikandhi, sang putri yang jago berkelahi, dikenal sebagai gadis yang juga pandai bicara.

Manajer  'mall', satuan pengamanan 'mall', dan beberapa orang yang berada di 'mall' menjadi gempar dan terjadilah kegaduhan, saat melihat seorang gadis berlari cepat diikuti sejumlah 'pria berbadan tegap berambut cepak'. Para 'pengejar' itu, tiba-tiba diberhentikan oleh petugas keamanan 'mall' yang meneriaki mereka: "Berhentiiii! Pria dilarang masuk ke area toilet wanita!" Kontan, para pengejar itu berhenti dan beberapa dari mereka mencabut senjata laras pendeknya, dan menodongkan ke kepala beberapa orang anggauta satuan pengamanan 'mall' sambil berteriak: "Mingggiiiiiir!
Kami pengawal istana kerajaan!" Para anggauta satuan pengamanan 'mall' itu tiba-tiba jadi lemas dan tak mampu berkata-kata lagi, setelah mereka melihat kartu identitas para pengawal pribadi itu disorongkan ke depan muka mereka. Srikandhi sudah masuk melewati pintu yang bertulis 'ladies'. Para pengawal tiba-tiba terhenti begitu saja di depan 'pintu sakti' itu. Semua orang, termasuk para pengawal pribadi dan para anggauta satuan pengamanan 'mall' berdiri termangu-mangu bagaikan patung batu di depan pintu 'ladies' itu.

Setiap kali ada yang keluar dari dalam toilet wanita itu, semua orang lalu memandanginya. Beberapa wanita yang ke luar dari toilet, berjalan sambil ngedumel: "Ngapain kamu lihat-lihat aku haaaah!?" Dan, para pria bertubuh gempal itu lama-lama jadi jengah juga, setiap kali ada wanita yang keluar dari dalam toilet wanita, tiap kali pula mereka menerima sumpah serapah seperti itu. Komandan pengawal pribadi tiba-tiba nyeletuk, seperti berkata kepada dirinya sendiri: "Ngapain aja ya Mbak Srikandhi? Kok lama sekali di dalam toilet? Katanya cuma mau pipis, tapi sudah lama begini kok belum keluar juga ya?" Ada nada sedikit curiga dalam kalimatnya.....

Srikandhi yang sedang pipis, sambil tersenyum memandangi dinding di sekeliling ruang 'pipis' itu. Tiba-tiba, dia seperti menemukan akal bulus, setelah melihat jendela kaca yang agak tinggi itu ukurannya besar dan ternyata mempunyai kunci tarik di sisi dalam dan kuncinya ternyata bisa dibuka dengan mudah. Dengan mendongakkan kepalanya, Srikandhi mencoba membuka jendela besar itu dan ternyata bisa! Ia melihat ke arah luar. Rupanya, yang dia lihat adalah halaman belakang 'mall'. Senyum lebarnya tiba-tiba menyeruak di mukanya. Akal bulusnya tiba-tiba muncul begitu saja di benak kepalanya. Setelah merapihkan pakaiannya, lalu dengan sigap tapi hati-hati dan tak menimbulkan suara, Srikandhi segera memanjat jendela dan meloncat ke luar! Sampai di luar, ia melihat sekeliling, celingukan, mencoba melihat apakah para pengawal pribadinya ada yang tahu atau tidak, ia sudah berada di luar gedung 'mall'. Setelah memastikan bahwa segalanya 'aman', maka Srikandhi segera berjalan menjauhi gedung 'mall' dan segera memanggil taxi. Dan....., lenyaplah Srikandhi dari pantauan para pengawal pribadinya! Di dalam taxi yang ber-AC Srikandhi duduk sambil tersenyum penuh kemenangan. "Ke Pantai Rose Garden Pak!" katanya kepada pengemudi taxi, yang tidak sadar siapa penumpangnya....  

Sementara itu, di depan pintu toilet komandan pengawal pribadi berjalan hilir-mudik tak sabar. Lalu, ia memanggil komandan satuan pengamanan "mall" dan berkata: "Mas....! Saya dan anak buah saya harus masuk ke dalam Mas! Masak cuma pipis kok lama begini! Saya takut orang yang saya kawal diculik!" Mendengar kata 'diculik', komandan satuan pengamanan 'mall' jadi pucat pasi. Ia sudah terbayang, kalau orang yang dicari itu ternyata benar diculik, maka iapun akan terbawa-bawa urusan yang pasti menjadikan hidupnya jadi kusut. Tetapi ia ragu-ragu. Aturan internal dan SOP pengamanan sekalipun, tidak membolehkan laki-laki masuk ke dalam ruang wanita. "Sebentar ya Pak, saya hubungi dulu atasan saya, untuk minta ijin masuk ke ruang ladies itu," kata komandan satuan pengamanan 'mall'. "Hlo...., kamu melarang kami masuk? Kamu kan sudah tahu siapa kami!? Apa kamu mau ditangkap!?" bentak komandan pengawal pribadi dengan muka garang. "Bukan begitu Pak, kami cuma menjalankan perintah atasan!" jawab sang komandan satuan pengamanan 'mall' dengan cemas. "Ya sudah, sana minta ijin! Cepaaaaat!" bentak komandan pengawal pribadi. Dengan tergesa-gesa komandan satuan pengamanan memakai handy-talky-nya untuk menghubungi atasannya. Dengan suara terbata-bata karena mulai panik, ia berkata: "Pak manajer keamanan, saya mohon ijin untuk masuk ke ruang toilet wanita!" Sesaat kemudian, terdengar jawaban yang meledak-ledak: "Apa katamu!? Mau masuk ke ruang toilet wanita!? Kamu kan kepala satuan keamanan, kenapa malah mau ngajari bertindak kurang-ajar? Apa kamu lupa SOP di 'mall' ini kan melarang laki-laki masuk ke ruang wanita! Apa kamu lupa itu haaah!?" Pucat pasi air muka sang komandan satuan pengamanan 'mall'. Keringat dingin mulai mengalir membasahi baju dinasnya. "Bukan Pak....! Bukan itu maksud saya. Saya mau masuk tidak sendirian, tapi dengan beberapa orang lainnya. Benar Pak, saya nggak mau masuk sendirian!" Jawaban dari ujung lainnya, semakin menyalak: "Mau masuk dengan orang lain!? Kamu benar-benar kurang ajar! Dibilangin sendiri saja dilarang, kok malah mau masuk beramai-ramai! Berengsek kamu! Apa kamu mau dipecat!? Memalukan manajemen saja kamu!" Mendengar suara yang menyalak bagaikan anjing menggonggong itu, sang komandan satuan pengamanan 'mall' semakin ciut nyalinya. Dengan keringat dingin mengucur deras, dia memandang komandan satuan pengawal pribadi, dan dengan muka kecut pucat pasi dia berkata dengan lesu: "Paaaak gagal Paaaak...... Gimana Yaaaa......?" Komandan satuan pengawal pribadi memandang wajah komandan satuan pengamanan 'mall' tanpa berkata-kata. Keduanya sama-sama bingung. Hilang sudah kegarangannya.

Mereka saling terdiam dan saling memandang. Lalu, tiba-tiba sang komandan pengawal pribadi berkata: "Mas....., bagaimana kalau kita nekat masuk saja bersama-sama? Nanti kalau ada yang marah, biar saya yang tanggung-jawab deh!" Mereka terdiam beberapa saat. Sang komandan satuan pengamanan menjawab perlahan: "Bagaimana ya Mas? Saya takut dimarahi atasan saya. Saya takut dipecat Mas. Tadi aja sewaktu saya minta ijin sama dia, kan Mas juga tahu, saya kan dimaki-maki." Diam lagi mereka berdua tak berkata-kata. Sama-sama bingung......Lima belas menit sudah berlalu. Habislah kesabaran sang komandan satuan pengawal pribadi. Dia lalu berkata: "Sudahlah Mas...., kita masuk sajalah, dari pada kita sama-sama nggak punya kepastian. Soal pipis, sudah jelas nggak masuk akal. Sudah lewat limabelas menit, masak belum selesai juga pipisnya? Ayo! Kita masuk sajalah!" Maka dengan tergopoh-gopoh mereka berramai-ramai masuk lewat pintu yang bertulis 'ladies'. Sejumlah wanita terbengong-bengong melihat para lelaki itu bergegas memasuki pintu 'ladies' itu. Lalu, mereka berhenti di sebuah pintu kedua, yang merupakan pintu masuk ke ruang toilet wanita. Pintu tertutup rapat! Tidak terdengar suara apapun dari dalamnya! Komandan satuan pengawal pribadi berkata kepada komandan satuan pengamanan 'mall': "Kita dobrak saja ya?" Dan, tanpa menunggu jawaban dari sang komandan satuan pengamanan 'mall', dengan suara keras pintu didobrak! Benturan badan sang komandan satuan pengawal pribadi membuat pintu terpelanting dengan suara gemeretak! Kuncinya gesernya terlempar, lepas dari tempatnya, sekrupnya pada rontok! Dan......... di dalam ruang toilet itu ternyata kosong! Sang putri Srikandhi benar-benar lenyap......!

Pucat pasilah wajah sang komandan satuan pengawal pribadi!  Terbayang sudah, hukuman, makian, dan sumpah serapah yang pasti akan diterimanya, saat ia melaporkan peristiwanya nanti kepada atasannya! Salah seorang anak buahnya, tiba-tiba datang membawa sebotol minuman segar. Disambarnya minuman botol itu tanpa berkata apapun, dan langsung ditenggaknya isinya sampai habis. Mereka semua terdiam tak tahu apa yang harus diperbuat. Perlahan-lahan, mereka semua berjalan gontai ke luar dari ruang toilet wanita itu. Seperti sepasukan tentara yang kalah judi, mereka berjalan bersama-sama dan kemudian memandang ke sekeliling 'mall', dan akhirnya menemukan deretan tempat duduk. Di tempat duduk itu, mereka semua duduk diam berderet-deret, sambil mencangkung dan menopang dagu, seakan sedang berpikir keras! Tidak seorangpun di antara mereka yang saling berkata-kata. Semuanya terdiam seribu kata.

Tiba-tiba HP komandan satuan pengawal pribadi berdering keras. Suara dering HP itu membuatnya begitu kaget, sampai-sampai pantatnya melonjak terangkat dari tempat duduknya. Lalu dengan tergopoh-gopoh diambilnya HP-nya dari sakunya. Dan, segera ia memencet tombol bergambar telepon berwarna hijau, dan segera mendengarkan di telinganya. Samar-samar, orang-orang di sekeliling sang komandan satuan pengawal pribadi itu bisa mendengar suara sang Srikandhi yang merdu dan nakal: "Pak komandan...., sudah hilang bingungnya? Jangan tanya saya ada di mana ya. Nanti saja, kalau urusan saya bersenang-senang sudah selesai, Pak komandan pasti akan saya telepon lagi. Sekarang Pak komandan dan anak buah Bapak jalan-jalan sajalah, sambil cariin saya cemilan dan minuman kaleng kesukaan saya ya. Jangan lupa, bawain saya hamburger ya..... Nanti akan saya beritahu deh, di mana saya, dan baru jemput saya di tempat yang nanti saya sebutkan. Ha ha ha ha." Tawa ceria Srikandhi yang nakal dan centil itu, terdengar samar-samar oleh semua orang yang duduk berdekatan dengan komandan satuan pengawal pribadi. Suara telepon pun terputus tiba-tiba......

Air muka komandan satuan pengawal pribadi itu, tiba-tiba berubah menjadi sumringah, meskipun di wajahnya masih tampak keringat kepanikan yang dari tadi mengalir deras. Hilang sudah rasa takutnya.  "Mas...., ayo saya traktir makan dan minum di restauran yang ada di sekitar sini!" katanya tiba-tiba kepada komandan satuan pengamanan 'mall', yang dengan terbengong-bengong melongo masih tak mengerti apa yang sedang terjadi.....