Rabu, 24 Juli 2013

CANGIK DAN LIMBUK, DUA SAHABAT DENGAN KESETIAAN TANPA BATAS

Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.
Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu, mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.



Di dunia pewayangan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan 'keputren' di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh dikatakan selalu ada di setiap pagelaran wayang. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah 'dua sahabat' dan bukannya memakai istilah 'dua wanita'. Memang keduanya, Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya sudah meningkatkan level dirinya, menjadi 'dua sahabat' bagi sang putri atau permaisuri yang diikutinya.

Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang, khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai 'pembantu' seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yang bisa dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka berdua, Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yang kita kenal. Mereka berdua, adalah 'panakawan', yang artinya 'sahabat'. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yang peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan ksatria yang lebih banyak diekspos dan ditampilkan.

Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak sebagai 'rewang' bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yang bernama 'Limbuk", keduanya merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka berdua, bukanlah orang biasa! Mereka berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang, mereka berdua itu termasuk orang-orang yang 'berada di lingkaran ring satu', yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga 'pemegang rahasia' sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yang bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator, menko).

Cangik dan Limbuk, bukanlah 'babu' seperti yang banyak digambarkan orang. Mereka berdua, adalah 'rewang'. Dalam bahasa Jawa, artinya 'orang yang membantu'. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah 'pembantu' (babu). Rewang, artinya 'penolong'. Istilah 'ngrewangi', artinya membantu atau menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya [1], dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang 'rewang' akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yang sama dengan junjungannya. Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yang diikutinya.[2]  Mereka bukanlah 'orang belakang', tetapi lebih tepat disebut sebagai 'orang dalam'. Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yang sangat  luar biasa, yang berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah 'parekan' (dayang-dayang). Kalau di jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut 'asisten pribadi'.

Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.

Cangik dan Limbuk, menggambarkan 'asisten pribadi' seorang putri/wanita. Di negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang nyata). Bahagialah anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang tanpa batas. Selamat merenungkan......

________________________________

 [1] Saya mempunyai seorang sahabat karib (seorang pria) bersuku-bangsa Jawa, yang rumah-tangganya berantakan, gara-gara isterinya selingkuh dengan seorang pemuda yang kost di rumahnya. Rewangnya, seorang wanita tua, dengan berani dan tanpa ragu-ragu memarahi majikan perempuannya dan mengusir kedua pasangan selingkuh itu dari rumah tinggalnya. Selama bertahun-tahun setelah peristiwa itu, sahabat karib saya itu, dirawat, dilayani, dan dijaga oleh rewangnya ini, seperti seorang ibu menjaga anaknya. Hal ini, secara jelas menunjukkan bagaimana peran seorang rewang dalam kondisi yang sebenarnya.

[2] Saya, sewaktu masih kecil, tinggal di Yogyakarta (sekitar tahun 1952 - 1959), sempat merasakan bagaimana seorang rewang keluarga yang bernama Mbok Wirya, setiap hari merawat saya dan adik-adik saya. Mbok Wiryo ini, setiap hari menggendong saya dan menimang-nimangnya seperti anaknya sendiri, seringkali sampai saya tertidur. Saya masih ingat benar, bagaimana Mbok Wiryo, seringkali menggendong diri saya yang saat itu masih kecil, sambil menyanyikan tembang Jawa 'Pendhidisl-pendhisil', 'Jamuran', 'Gathutkaca Edan', 'Cempe-cempe', atau 'Kebon Raja'. Sungguh merupakan kenangan indah di masa kecil saya yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.


________________________________________
Di bawah ini, saya tambahkan cerita Mas Yohanes Triwidiantono, yang sangat menyentuh perasaan.

Yohanes Triwidiantono 09 Mei 5:46

Pak Bram ingkang kinurmatan, Saya juga punya kenangan sepanjang hayat seperti panjenengan; sewaktu kecil (1962 - 1968) saya dimong oleh mbok-dhe Karso, yang adalah suami-isteri tetangga sebelah rumah, tanpa anak. Bukan hanya mbok-dhe Karso yang nggemateni saya, namun juga pakdhe Karso. Oleh orang-tua saya, suami-isteri ini digaduhi sepasang cempe. Tak heran, saya pun sering ikut angon cempe ke ladang. Yang saya tahu adalah saya dijagai melebihi apapun, termasuk memenuhi keinginan dan saya. Suatu saat saya diberi pondoh (pucuk batang pohon kelapa), karena terasa manis lembut dan tidak keras, saya menikmatinya, sayang hanya sedikit karena hanya pembagian entah tetangga mana yang menebang pohon. Saya bertanya asal-usul pondoh itu, dan dijelaskan apa adanya. Ketika suatu saat pakdhe Karso memetik kelapa, saya minta pondoh. Ibu saya terperanjat, dan bilang bahwa yang bisa dipentik hanya dawegan, pondoh tidak bisa dan tidak ada. Saat pakdhe turun tidak membawa pondoh, saya ngambek. Hari berikutnya pakdhe keliling kampung mencari orang menebang kelapa, tidak ketemu, sampai akhirnya ketemu di kampung tetangga ada yang menebang. Dengan segala upaya pakdhe minta pondoh kepada pemilik pohon. Sampai saya menjadi seorang bapak, olok-olok ini masih sering saya dengar dari ayah saya, bahwa asaya minta pondoh pada pemetik kelapa. Setelah sekolah di SD, saya diikutkan ke keluarga kakek-nenek saya yang jaraknya sekitar 10 km. Orang-tua saya bekerja ke Malaysia (1969 - 1973). Sepertinya, ini petaka bagi pakdhe-mbokdhe Karso, hampir tiap minggu menjenguk saya. Keduanya tidak dapat bersepeda, hanya berjalan kaki. Lama-lama berangsur semakin jarang menjenguk saya, tetapi saya tidak tahu penyebabnya. Namun mereka masih tetap berkunjung, yang saya tahu mereka pasti selalu membawa hasil kebun seperti; ketela, nangka, pisang dsb. dan masih setia menunggui sampai saya memakannya. Kunjungan mereka masih saja terus berlangsung hingga saya dewasa, bahkan sepasng cempe yang sudah menjadi belasan ekor tidak pernah diakui sebagai miliknya, tetapi dianggap itu milik saya, padahal ayah saya sudah menyerahkan semuanya kepada mereka. Ketika ada yang dijual, uangnya diberikan kepada saya. Setelah saya dewasa dan kuliah ke luar kota, mereka masih berkunjung ke orangtua saya, mencari-cari saya sambil membawa hasil kebun. Setiap pulang ke Yogya, saya memang kadang menyempatkan mampir ke rumah (sebenarnya gubuk) mereka, hanya sekedar memberi sebotol kecil madu sebagai buah tangan, tapi malah mereka memberi saya beras sekandi. Sekarang, mereka memang sudah tiada, pakdhe Karso sudah sekitar 10 tahun yang lalu, dan mbokdhe sekitar 5 tahun lalu. Tidak ada barang apapun di dunia ini yang dapat menggantikan kasih-sayang mereka kepadaku, juga baktiku kepada mereka tidak akan mungkin sebanding. Gubuknya ditinggali oleh anak angkat (pupon) mereka, tetapi saya tidak kenal. Saya kadang berkunjung ke gubuk itu, tapi tidak ada kata yang dapat menjelaskan apapun mengenai hubungan saya dengan pakdhe dan mbokdhe Karso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar