Jumat, 20 Desember 2013

DEWI SUKESI DAN 'SASTRA JENDRA HAYUNING RAT, PANGRUWATING DIYU'

Pada pagelaran wayang kulit purwa, pengetahuan atau ilmu 'Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu' umumnya dianggap sebagai pengetahuan yang 'wingit' (penuh mistis dan menakutkan). Karenanya, ilmu ini hanya boleh diajarkan kepada orang pilihan, yakni mereka yang telah mencapai tingkatan amat sangat bijak. Penyebabnya, adalah bahwa ilmu ini diyakini bisa mengubah takdir manusia.

Pada pagelaran wayang kulit purwa, pengetahuan atau ilmu 'Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu' umumnya dianggap sebagai pengetahuan yang 'wingit' (penuh mistis dan menakutkan). Karenanya, ilmu ini hanya boleh diajarkan kepada orang pilihan, yakni mereka yang telah mencapai tingkatan amat sangat bijak. Penyebabnya, adalah bahwa ilmu ini diyakini bisa mengubah takdir manusia.


Selama membaca artikel ini, ada baiknya juga kita sambil mendengarkan permainan ricikan Gender Barung, Gender Panembung, serta Rebab; dalam Gendhing Laler Mengeng yang sangat sendu.

https://www.youtube.com/watch?v=Xe61MLcwvUY

Pada suatu sore (hari Selasa, tanggal 17 Desember 2013), sahabat lama saya, Pak Dhe Dwi Hardjito, berkunjung di kampus tempat saya mengajar, di ruang Studio Proyek Disain 3, Program Studi Desain Produk, Jurusan Desain Produk, FSRD, Itenas (Institut Teknologi Nasional), Bandung. Setelah lama berbincang soal studinya, menjelang akhir pembicaraan, kita berdua mendengarkan dan menikmati sejenak rekaman audio pagelaran wayang kulit purwa, dari sekitar tahun 1970-an, lakon ‘Rahwana Gugur’, yang dimainkan oleh almarhum Ki Narto Sabdho. Menjelang akhir pertemuan, pembicaraan akhirnya bergeser ke arah soal diajarkannya ilmu pengetahuan yang disebut ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Secara kebetulan, pada rekaman audio itu, ada adegan yang menceritakan saat  ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ diajarkan kepada Dewi Sukesi oleh Begawan Wisrawa. Menariknya, adalah bahwa menurut sahabat saya itu, proses pengajaran ilmu ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi itu, ternyata ada dua versi yang amat sangat berbeda. Maka, lengkaplah diskusi kecil sore itu, membincangkan soal ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ yang amat sangat terkenal itu…..


Selintas tentang ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’

Ajaran ilmu pengetahuan ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ itu, pada dasarnya merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berisi dua bagian penting. Bagian pertama, berisi berbagai ajaran tentang bagaimana cara hidup baik atau bagaimana caranya memperbaiki mutu kehidupan manusia. Sedang bagian kedua, berisi berbagai ajaran tentang bagaimana cara mengubah nasib dan takdir. Kedua hal tersebut, merupakan rangkuman utama ajaran ‘Satra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. 

Dari sebutannya, istilah‘sastra’, menunjuk kepada pengertian‘tulisan, surat, buku, ilmu tulisan, senjata’, atau ‘tulisan yang berisi pengetahuan’. Sedangkan orang yang pandai dan menguasai suatu ilmu pengetahuan tertentu, disebut ‘sastra-daksa’. Istilah ‘jendra’,merupakan kata bentukan yang berasal dari dua kata, yaitu ‘jaya' dan ‘endra’; yang jika disatukan akan berbunyi ‘jaya-endra’, lalu disingkat menjadi ‘jendra’. Istilah ‘jaya’, artinya ‘menang, bahagia, kuasa’. Istilah ‘endra’ atau ‘indra’, merupakan sebutan yang mewakili Dewa Endra, Sang Hywang Endra, atau Bathara Endra; yakni dewa penguasa angkasa raya. Dalam ajaran kuno Hasta Brata, Endra atau angkasa dipandang mewakili sifat mempunyai ketulusan batin, dan mempunyai kemampuan mengendalikan diri. Dengan demikian, istilah ‘jaya-endra’  atau ‘jendra’, berarti ‘kebahagiaan manusia yang didasari atau dilandasi ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri’.

Istilah ‘jendra’ juga dekat dengan sejumlah istilah lain. Misalnya, dekat dengan istilah‘jitendriya’, yang artinya ‘orang yang dapat atau mempunyai kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan nafsu’. Istilah ‘jnana’, artinya ‘ilmu, pengetahuan,arti, pikiran, kesadaran’. Dalam pengertian ini, istilah ‘jnana-endra’ mempunyai pengertian ‘ilmu, pengetahuan, pikiran, atau kesadaran; yang bisa menghasilkan kebahagiaan atau penguasaan atas sesuatu hal’. Istilah ‘jnani’, artinya ‘pandai, bijaksana’. Dalam pengertian ini, istilah ‘jnani-endra’, mempunyai pengertian ‘kepandaian atau kebijaksanaan; yang bisa menghasilkan kebahagiaan atau penguasaan atas sesuatu hal’. Istilah ‘janma,janmi, jalmi’,atau ‘jalma’, artinya ‘manusia, orang’. Dalam pengertian ini, istilah ‘janma-endra’ lalu mempunyai pengertian ‘manusia yang mempunyai kemampuan mengendalikan diri dan ketulusan batin’. Berdasar bahasan di atas, maka istilah ‘jendra’ pengertiannya lalu berkembang menjadi ‘suatu pengetahuan dan kesadaran manusia, yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, dan penguasaan’.

Istilah ‘hayu’ atau ‘ayu’, artinya ‘indah, cantik, selamat, atau baik’. Sedangkan istilah‘pamahayu’, artinya ‘perlindungan atau pertolongan’. Sedangkan istilah ‘rat’, artinya ‘angkasa, luas, dunia’. Dengan demikian, istilah ‘hayu ing rat’  atau ‘hayuning rat’, artinya ‘keselamatan atau kebahagiaan di dunia’ atau lengkapnya ‘keselamatan atau kebahagiaan yang dinikmati, selama manusia hidup di dunia’. Maka istilah ‘sastra jendra hayuning rat’pengertian lengkapnya adalah ‘ilmu, pengetahuan, dan kesadaran manusia; yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, penguasaan, dan keselamatan; yang dinikmat manusia selama hidup didunia’.

Kalimatberikutnya, adalah ‘pangruwating diyu’.Istilah ‘pangruwating’ berasal darikata dasar‘ruwat’, yang artinya‘ruat, rawat, bebas, atau terlepas, dari cecat (murka, kutukan, tenung) dewa(penguasa jagat raya)’. Istilah ‘pangruwat’dapat juga berarti ‘upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, ataumenghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya’. Sedangkanistilah ‘diyu’, artinya ‘raksasa’.Bisa juga berarti ‘iblis atau setan’; atau ‘sesuatu yang bersifat seperti peri-lakuiblis’. Raksasa, iblis, atau setan; seringkali disetarakan, mewakili, ataumenggambarkan sesuatu hal yang buruk, tidak baik, jahat, sifat negatif, sifatburuk, sifat jahat, pembawa petaka, pembawa kemalangan, dan pembawa nasib atautakdir buruk’. Jadi, kalimat ‘pangruwatingdiyu’, artinya ‘upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, ataumenghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya; sehinggaterbebas dari kemalangan, nasib atau takdir buruk’.

Maka kalimat lengkap ‘sastra jendra hayuning rat,pangruwating diyu’, lalu mempunyai pengertian ‘ilmu, pengetahuan, dan kesadaran manusia; yang dilandasi kemampuan pengendalian diri dan ketulusan batin; yang akan menghasilkan kebahagiaan, kemenangan, penguasaan, dan keselamatan; yang dinikmati manusia selama hidup di dunia; dengan cara melakukan upaya atau usaha untuk melepaskan, mengubah, atau menghindarkan diri; dari kutukan dewa atau penguasa jagat raya; sehingga terbebas dari kemalangan, nasib atau takdir buruk’. Itulah pengertian selengkapnya dari kalimat ‘sastra jendra hayuning rat, pangruwatingdiyu’  yang luar biasa itu. Ini merupakan pengetahuan inti selengkapnya yang berhubungan dengan kehidupan manusia di bumi (di alam janaloka). Itulah penjelasan selengkapnya tentang pengertian ‘sastra jendra hayuning rat, pangruwating diyu’.


Pertemuan antara Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, yang dilakukan di tempat yang tertutup rapat, sepi, gelap, hanya berdua, dan dalam waktu yang cukup lama; berakibat keduanya berada dalam situasi 'lupa diri'. Dalam jagat pewayangan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan situasi ini, adalah "Jroning peteng, sing ana amung lali. Jroning lali, sirna sipating bakal maratuwa lan bakal mantu. Sing ana amung sipating priya lan wanodya". Dalam kegelapan, yang terjadi adalah lupa. Dalam keadaan lupa, hilanglah calon mertua dan calon mantu. Yang dirasakan hanyalah keberadaan seorang pria dan seorang wanita.
Pertemuan antara Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, yang dilakukan di tempat yang tertutup rapat, sepi, gelap, hanya berdua, dan dalam waktu yang cukup lama; berakibat keduanya berada dalam situasi 'lupa diri'. Dalam jagat pewayangan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan situasi ini, adalah "Jroning peteng, sing ana amung lali. Jroning lali, sirna sipating bakal maratuwa lan bakal mantu. Sing ana amung sipating priya lan wanodya". Dalam kegelapan, yang terjadi adalah lupa. Dalam keadaan lupa, hilanglah calon mertua dan calon mantu. Yang dirasakan hanyalah keberadaan seorang pria dan seorang wanita.




Dewi Sukesi menerima ajaran ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’

Dewi Sukesi, puteri Prabu Sumali, dari Negeri Alengka, menyampaikan sayembara untuk mencari calon pasangan hidup. Entah apa yang melandasi pemikirannya, kita tak pernah tahu. Tetapi, yang jelas Dewi Sukesi menyampaikan syarat. Yaitu, calon suami yang dikehendakinya, adalah seseorang pria yang mampu menjelaskan dan mengajarkan kepadanya ilmu pengetahuan yang disebut ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’.
Di antara para ‘narpati mudha’ (raja muda) yang sangat berminat menjadikan Dewi Sukesi sebagai permaisuri, adalah Prabu Danapati (juga disebut Prabu Daniswara, Prabu Wisrawana, atau Prabu Danaraja) dari Negeri Lokapala. Namun, apa lacur, sang raja muda ini sama sekali tak menguasai ilmu pengetahuan ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Karena itu, ringkas cerita Prabu Danapati lalu meminta tolong kepada ayahandanya, yakni Begawan Wisrawa atau Begawan Mamulayasa, seorang pendeta sakti yang luar biasa dari Pertapaan Arga Wirangin, untuk mewakilinya dan meminang Dewi Sukesi. Maka berangkatlah Begawan Wisrawa mewakili puteranya, untuk melamar Dewi Sukesi. Ayah Prabu Danapati dan ayah Dewi Sukesi; yakni Begawan Wisrawa dan Prabu Sumali, keduanya ternyata merupakan sahabat karib.

Ringkas cerita, atas permintaan Dewi Sukesi, maka Begawan Wisrawa dengan berat hati, akhirnya menyanggupi untuk mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi, namun ia menyampaikan sejumlah syarat dan menjelaskannya kepada Dewi Suksesi serta ayahandanya, Prabu Sumali.

  • Proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ tidak boleh dilihat dan didengarkan sama sekali oleh orang lain. Artinya, proses pengajarannya harus dan hanya boleh dilakukan secara rahasia, bersifat amat sangat pribadi, dilakukan di suatu tempat yang amat sangat tertutup, lepas dari kemungkinan adanya pengamatan dan pendengaran oleh manusia lain, serta dalam pertemuan sangat pribadi yang bersifat ‘catur netra’ (empat mata).
  • Ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, sebenarnya merupakan suatu pengetahuan rahasia, yang sebenarnya tidak boleh diajarkan kepada sembarang manusia. Hanya manusia pilihan saja yang memenuhi berbagai syarat dan telah sampai pada tingkat amat sangat bijak, yang boleh mengetahui dan mempelajari ilmu ini. Penyebabnya, ilmu ini jika isinya dipraktikkan, merupakan ilmu pengetahuan yang bisa mengubah takdir.  Padahal, soal mengubah takdir itu sebenarnya merupakan hak prerogatif para dewa penguasa jagat raya; dan sama sekali bukan wewenang manusia untuk mengubahnya.
  • Dalam pandangan para dewa, jika banyak manusia menguasai ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, maka setiap manusia lalu bisa mengubah takdirnya sendiri-sendiri, sesuai keinginannya. Akibatnya, peran para dewa dalam mengatur takdir kehidupan manusia, akan menjadi amat sangat surut (berkurang). Bahkan, mungkin saja peran para dewa dengan segala kekuasaannya atas‘jantra’ kehidupan manusia, akan lenyap sama sekali. Ini akan merupakan hal yang amat sangat ditakutkan oleh para dewa penguasa jagat raya.
Setelah segala persyaratan dipenuhi dan disetujui oleh Dewi Sukesi dan Prabu Sumali, maka proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi dimulailah. Semuanya dimulai dalam keremangan senja yang mencekam.

Matahari telah mulai membenamkan diri dalam bayang-bayang cakrawala barat nan jauh ditepi batas pandang mata. Memerah semburat cahayanya, perlahan-lahan semakin membiaskan berkas-berkas cahaya merah keemasan ke arah langit timur.  Mega-mega tampak mengawang di angkasa menjelang malam. Warnya yang putih redup, bersemu merah darah. Menyala dalam keremangan senja. Perlahan-lahan, rahina lalu berganti malam. Semburat cahaya Sang Bagaskara, perlahan-lahan mulai bergerak perlahan, menghilang ditelan malam. Perlahan-lahan, di angkasa taburan permata bintang-bintang malam mulai menghias kegelapan malam. Semakin lama, semakin banyak bintang-bintang malam menampilkan diri dalam gemerlap kedip-kedip penuh pesona.  Suara gelepar sayap kelelawar dan burung-burung malam sesekali mulai terdengar mengepak tak teratur. Menyeruak malam penuh bintang. Mengejar mimpi-mimpi dan cerita. Di angkasa timur, pelan-pelan bulan purnama mulai menampilkan diri dalam bentuk bola emas raksasa penuh pesona. Makin lama, makin tinggi di angkasa. Cahaya purnama yang menerangi malam itu, terasa makin lama makin terang saja. Sasadara pindha rahina, bulan purnama tampil terang bagaikan siang hari. Cahayanya yang kuning keemasan itu, berhiaskan jutaan permata bintang-bintang malam.

Hanya kesunyian yang terasa di malam itu. Seakan segala keramaian dunia berhenti seketika. Seakan semuanya menghentikan kegiatannya. Bahkan, burung-burung malam dan kelelawar seakan juga enggan terbang mengarungi keheningan malam. Angin malam tak bertiup. Tak terasa desir angin sama sekali. Bahkan daun-daun pepohonan seakan diam membeku. Tak bergoyang, tak bergerak. Semuanya terdiam di tempatnya. Hanya tampak seruak dahan dan ranting pohon asamtua tak berdaun, yang tampak bagaikan jari-jari tangan kurus menggapai angkasa. Hitam warnanya, membayang di dalam kelam malam. Di balik cemerlang cahaya purnama, dahan dan ranting pohon asam seakan membayangkan peristiwa kelam. Seakan hendak ikut bercerita tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Tentang perjalanan hidup manusia, dari mana asal dan hendak ke mana setelah akhir hidup menjelang.

Hanya keheningan yang tercipta. Sunyi merambati malam itu. Sesaat, bagaikan perlahan terbawa serta samirana, tercium bau dupa dan kemenyan, samar-samar menyeruak dan menelusuri ke dalam relung-relung ruang hati manusia yang paling dalam. Terasa semakin sendu. Terasa semakin sunyi. Lalu terasa seakan semuanya berhenti. Berlama-lama hanya kesunyian semata yang terasa. Tak ada apapun. Bahkan tak ada gemerisik gerak binatang malam. Berlama-lama dalam kesunyian. Berlama-lama dalam kepekatan malam yang gelap. Berlama-lama dalam ruang semadi, dua manusia duduk bersila berhadapan, saling memejamkan mata. Hampir-hampir tak terdengar apapun, kecuali suara hembusan halus nafas keduanya. Dalam posisi ‘sedhakep saluku tunggal’, saling berhadapan, keduanya mengheningkan pikiran, hati, dan perasaannya. Di kejauhan, terdengar lantunan Suluk Malam, perlahan mengalun ditembangkan para pradangga dan para pengagung kekuasaan Gusti Allah, berdoa dan memuja Sang Penguasa Jagat Raya....

Hamiwiti sung angidung,
Gita parwa wayah ratri,
O,
Rinengga sang Sasadara,
O,
Lan Kartika Daradasih,
Maya-maya angelangut,
Samar jroning ratri,
O,
O,
Tembang dasih manuhara,
O,
O. [1]


Dalam ruang persemadian yang tertututup rapat, gelap tanpa cahaya sedikitpun. Hanya ada kesunyian. Suara yang terdengar hanya bunyi hembusan halus nafas. Tak sampai sedepa jarak keduanya. Namun, dalam kegelapan seperti itu, keduanya tak dapat saling melihat. Kedua insan itu tak bergerak, menutup ‘babahan hawa sanga’. Lama tak ada gerak apapun. Tak ada suara apapun. Tak ada keinginan apapun. Tak ada bayangan apapun. Tak ada citra apapun. Tak ada gemerisik apapun. Tak ada sentuhan apapun. Semuanya serba diam. Semuanya serba hening. Penuh dengan sunyi senyap semata. Sudah setengah malam tak ada yang berubah. Tepat di tengah malam, purnama sudah berada tepat di puncak malam. Cahayanya bersinar terang di angkasa raya.

Hening saja yang terasa. Sunyi saja yang menjelma. Tak ada apa-apa. Tak ada suara apapun.Tak ada gerak apapun. Bahkan asap dupa, mengalir tipis tegak ke atas berdiri bagaikan lidi. Seakan tak bergerak. Asapnya tampak memutih lembut pendar samar-samar. Menyebarkan bau wangi khas ke seluruh ruang malam nan gelap. Waktu serasa berhenti. Jantra seakan tak bergerak. Detak-detak jantung seakan ikut melambat. Berdetak enggan, seakan hendak berhenti. Sunyi sepi yang terasa. Suhu tubuhpun perlahan turun. Dingin terasakan merambati tubuh kedua insan itu. Seakan membekukan segalanya.

Dentang genta tengah malam telah lewat. Udara dingin menjelang pagi. Tiga-per-empat malam telah dilampaui. Lalu, perlahan-lahan, bagaikan samar-samar hampir takterdengar, Suluk Mantra Manyura dilantunkan perlahan. Suara nadanya meremang dalam kekelaman malam sepi. Membawa serta mimpi-mimpi ke alam maya. Menghadirkan kesadaran akan manusia dan Sang Pencipta. Menghadirkan suluh penerang sanubari yang gelap. Bait demi bait terlampaui perlahan, dalam lantunan sendu tembang nada Pesisir dari masa lampau.


O,
Sun arsa mateg mantra Manyura,
Samar kadya tan katon wujude,
Angelangut jroning wengi,
Samar kadya ginawa ing samirana,
O,

Sumusup sajroning nala,
Kinembangan mantra sajuga,
Tan samar pamoring suksma,
Sinuksmaya ing asepi,
O,

Jroning layap liyeping aluyup,
Dhuh Gusti jejimat ingsun,
Sun memba dadya kang sun karsa. [2]



Selewat suara Tembang Suluk Mantra Manyura itu, hanya kesunyian yang terasakan. Tak ada suara apapun. Kegelapan dan dingin terasa menggigit kulit di dalam kelam. Masih tak nampak apapun jua. Hanya gelap semata di sekeliling seluruh ruang itu. Dan,masih juga bau asap dupa terasa menyeruak. Membawa serta seluruh suasana menjadi semakin lengang mencekam.

Tiba-tiba saja, terdengar suara bisik Sang Wisrawa, perlahan memulai menurunkan seluruh ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada Dewi Sukesi. Suaranya yang berbisik, hampir-hampir tak terdengar. Semuanya masih dalam posisi diam membisu. Suara bisik sangat perlahan berlangsung terus. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Bait demi bait. Pupuh demi pupuh. Bagian demi bagian. Ditimpal suara dengung serangga malam. Di antara kesunyian malam. Di antara keduanya. Semuanya diterima perlahan-lahan, penuh dengan penyerahan jiwadan raga. Penuh dengan penerimaan yang amat luar biasa. Penuh pasrah. Segalanya berjalan amat sangat perlahan. Penuh kahalusan perasaan. Bagai merambat didalam gelap. Bagai merambat perlahan ke dalam seluruh permukaan kulit raga. Menggetarkan hati. Menggetarkan rasa. Membuat seluruh bulu kuduk di tubuh bergetar berdiri merinding. Membuat rasa dan karsa menyatu dalam keheningan. Membuat segalanya menjadi hening tanpa penolakan. ‘Pindha layap liyeping aluyup’, merayap lambat memasuki seluruh relung-relung hati yang paling dalam.

Tiga-per-empat malam terlewati sudah. Peluh hangat mengucur deras di antara dinginnya malam yang benar-benar terasa sunyi. Penyampaian ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ telah hampir sampai pada puncaknya. Masih bersama dengan mengucur derasnya peluh dari seluruh permukaan kulit, bisikan kalimat terakhir,sudah mulai disampaikan Begawan Wisrawa. Pesan-pesan penuh makna dibisikkan dekat ke telinga Dewi Sukesi. Seperti awalnya. Semuanya dilakukan dalam bisik halus yang hampir tak terdengar. Dan, akhir dari seluruh penyampaiannya itupun akhirnya tiba...

Di luar bangunan sasana persemadian, udara terasa amat dingin. Udara malam masih terasa mencekam. Embun pagi mulai turun merebak di dedaunan. Bintik-bintik embun mulai merebak di permukaan setiap daun pepohonan dan rumput. Di arah timur, berkas cahaya merah sang Bagaskara, mulai menyemburat. Seakan hendak menyambut pagi hari yang dingin. Kabut menyapu perlahan seluruh halaman istana dan bangunan sasana persemadian. Semuanya masih terasa sangat sunyi. Hanya sesekali terdengar suara kokok ayam dan suara kicau burung. Pemandangan menjadi kabur oleh kabut yang datang menggelayuti angkasa. Suasana terasa tenang. Tak ada yang mengusik. Tak ada yang terdengar, selain suara kicau burung dan kokok ayam jantan sesekali.

Di dalam ruang gelap, dua insan, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, masih duduk bersila berhadapan seperti semula. Keduanya diam tak bergerak bagaikan ‘tugu sinukarta’. Segalanya telah usai. Pengetahuan yang disampaikan kepada Dewi Sukesi telah tuntas seluruhnya. Perlahan-lahan, Dewi Sukesi berusaha membuka mata. Ia merasa pandangannya kabur. Nanar takjelas. Tetapi di dalam hari sanubarinya, Dewi Sukesi merasa seperti baru dilahirkan. Ada perasaan yang tak terperikan terasa menyeruak di dalam hatinya. Sukar untuk diceritakan. Sukar untuk dikatakan. Dalam kegelapan, mata Dewi Sukesi akhirnya bisa melihat samar-samar seorang lelaki baya, yang semalaman telah mengajarkan kepadanya seluruh pengetahuan tentang kehidupan dan takdir. Perlahan-lahan kesadarannya semakin pulih. Ia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Lidahnya terasa kelu. Mulutnya bagaikan terkunci. Dalam kegelapan pagi, matanya perlahan memandang takjub kepada seorang laki-laki yang duduk bersila di hadapannya. Semakin lama ia memandang, semakin membuat hatinya tak hanya takjub, tetapi juga terpesona. Di dalam keremangan pagi yang dingin, Dewi Sukesi seakan melihat Begawan Wisrawa sebagai dewa yang turun dari kahyangan. Seakan-akan ia sengaja menemui dirinya, sengaja mengubah takdirnya, sengaja hendak bertemu dirinya.

Tiba-tiba saja, Dewi Sukesi merasa ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam hatinya. Tetapi ia tak bisa mengatakannya. Pikirannya terasa seperti beku. Ia hanya merasa heran, mengapa saat bertemu sehari sebelumnya, ia sama sekali takmerasakan keanehan itu. Saat pertama kali bertemu, ia merasa bertemu dengan orang yang sudah tua renta. Dan, memang Begawan Wisrawa dikenalkan kepadanya sebagai sahabat ayahandanya, yang mewakili puteranya untuk melamar dirinya. Hanya itu saja yang diketahuinya dari pertemuan pertamanya. Sama sekali tak adahal yang aneh, khusus, atau menarik dari pertemuan pertama itu. Semuanya berjalan begitu saja.

Tetapi, saat ini, di dalam kegelapan ruang pertemuan ini. Dewi Sukesi seperti menemukan lentera pencerah yang tak pernah ditemukannya selama ini. Lentera yang tiba-tiba saja menyala di dalam hati kecilnya. Menyala semakin lama semakin besar. Bahkan semakin lama, lalu membakar seluruh nalar dan perasaannya. Pandangannya tentang Begawan Wisrawa, tiba-tiba saja lalu berubah. ‘Kaya diwalik paningale’ (bagai dibalik penglihatannya). Ia tak lagi melihatnya sebagai lelaki tua renta. Di hadapannya, segalanya seperti berubah seketika. Di dalam kelam, yang terlihat adalah Wisrawa yang tampan, dengan tubuh tegap, dan sangat mempesona; dalam balutan baju berkain panjang, yang berwarna putih bersih. Di hadapannya, tiba-tiba saja Dewi Sukesi seperti melihat laki-laki pujaan hatinya, yang selama ini selalu dimimpikannya dalam tidur-tidur malamnya. Tiba-tiba saja, timbul rasa rindu yang tak terkirakan. Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, Dewi Sukesi seperti merasakan aliran darah di tubuhnya semakin cepat. Lalu, detak jantungnya tiba-tiba saja berubah menjadi berdetak cepat tak terkendali.

Suhu tubuh Dewi Sukesi terasa semakin hangat. Bahkan, ia merasakan tubuhnya seperti terbakar. Otaknya seperti tak dapat berpikir secara jernih lagi. Perasaannya berubah menjadi tak tenang. Ada timbul rasa menggebu-gebu yang tak terkirakan. Ada perasaan gamang yang tak bisa dikendalikannya. Jari-jari tangannya terasa panas dan bergetar. Dewi Sukesi masih berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dirinya. Hanya berhasil beberapa saat. Entah bagaimana, sesaat kemudian Dewi Sukesi merasa seperti merindukan sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Dewi Sukesi berusaha memejamkan matanya. Namun, dalam pejaman matanya Dewi Sukesi justru melihat ketampanan Wisrawa, seakan tersenyum kepadanya.

Dengan tubuh dan tangan gemetar dan mata nanar, Dewi Sukesi berusaha menggerakkan tangan dan tubuhnya. Ia berusaha menyentuh tubuh Begawan Wisrawa yang tengah duduk bersila dihadapannya. Gerak yang tak terkendali itu, membuat tubuh Dewi Sukesi mendadak limbung dan akhirnya rubuh ke pangkuan Begawan Wisrawa! Dewi Sukesi seperti tak sadarkan diri. Hilang segala kekuatan tubuhnya. Hilang pula kemampuannya untuk bertahan. Dalam hitungan sekilatan petir, tubuh Dewi Sukesi yang tiba-tiba rubuh itu, sudah dalam pelukan Begawan Wisrawa. Dewi Sukesi sesaat seperti merasa mau pingsan. Nafasnya tersengal-sengal, seakan kesulitan mencari udara segar. Detak jantungnya berdebar keras tak terkendali. Antara sadar dan tidak sadar, Dewi Sukesi masih bisa merasakan tubuhnya jatuh dan tiba-tiba saja ia merasakan kehangatan yang luar biasa. Dalam kegelapan, Dewi Sukesi memeluk erat tubuh Begawan Wisrawa. Lalu semuanya terasa gelap.

Dewi Sukesitak bisa merasakan berapa lama ia pingsan dalam posisi memeluk tubuh Begawan Wisrawa. Tetapi, saat ia sadar, tubuhnya masih berada dalam pelukan Begawan Wisrawa. Wajah Dewi Sukesi terbenam ke dalam dada sang Begawan Wisrawa yang bidang. Ia bisa merasakan betapa hangat dada Begawan Wisrawa. Bahkan ia bisa merasakan dan mendengar suara detak jantung Begawan Wisrawa yang berdetak kencang seperti dirinya. Dalam keremangan pagi, samar-samar mata Dewi Sukesi bisa melihat betapa degup jantung Begawan Wisrawa membuat dadanya bergerak naik-turun tak teratur. Ada perasaan aneh yang selama ini tak pernah dirasakannya. Ada perasaan rindu tak terperikan yang belum pernah dirasakannya selama hidupnya. Dan, tiba-tiba saja, timbul rasa ingin yang luar biasa. Setengah sadar, Dewi Sukesi berusaha memeluk erat tubuh Begawan Wisrawa. Sentuhan dan bau tubuh Begawan Wisrawa seakan berubah menjadi sihir yang membuat Dewi Sukesi terlena dan lupa segalanya.

Di dalam gelap, di dalam keremangan pagi buta yang dingin itu, di dalam kesunyian ruang pertemuan itu, tiba-tiba saja segalanya lalu berubah menjadi panas membakar. Tak tahu siapa yang memulai. Dalam hitungan lima tarikan nafas, keduanya sudah terlibat hubungan yang tak seharusnya dilakukan. Nafas yang semula halus, berubah menjadi dengus nafas yang memburu penuh dengan geliat nafsu. Keduanya, tiba-tiba saja sudah saling merenggut, saling memburu, saling menggigit, saling menjatuhkan, saling menindih, saling memagut, saling memeluk, saling mengerang, dan saling merengkuh kenikmatan duniawi. Begawan Wisrawa seketika lupa segalanya. Lupa bahwa ia mewakili puteranya. Lupa bahwa ia sebenarnya tak boleh berbuat. Lupa segalanya. Begitu pula Dewi Sukesi. Tubuhnya seakan memberontak tak rela, saat sang Begawan Wisrawa hendak melepaskan diri. Jari-jari tangannya mencengkeram kuat-kuat tubuh sang Begawan Wisrawa, seakan tak rela melepaskannya. Lupa diri telah menguasai keduanya. Saling menggeliat tubuh keduanya, saat berusaha menggapai puncak. Jari-jari tangan Dewi Sukesi mencengkeram dan mencakar tak keruan, dengan tubuh semakin mengejang, saat ia berusaha memuaskan dahaganya. Nafas keduanya seperti tercekik, dengan dengus liar, ditimpali dengan erangan ganas, saat keduanya mencapai puncak kenikmatan.  Tiba-tiba saja, kedua tubuh itu tiba-tiba saja berubah menjadi diam kejang sejadi-jadinya. Selama beberapa saat, tubuh keduanya tak ada yang bergerak. Keduanya mencapai puncak kenikmatan yang tak terkirakan. Terengah-engah nafas keduanya memburu di antara cucuran peluh, saat keduanya melewati puncak kenikmatan duniawi. Lalu semuanya berakhir. Beberapa saat, tak ada suara apapun yang terdengar. Hanya terdengar suara dengkur halus, yang menandakan kedua insan yang lupa diri itu tertidur lelap dalam buaian yang memabukkan. Tubuh keduanya masih saling berpelukan erat, seakan tak akan mau melepaskan. Rasa lelah yang luar biasa itu, telah membuat keduanya lama tertidur lelap, bersimbah peluh.

Sementara di luar ruangan terjadi kegemparan, setelah lebih dari semalaman pintu ruang persemadian itu tak terbuka juga. Sedangkan dua insan yang ada di dalamnya, yakni Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa, juga tak kunjung keluar. Situasi ini, membuat curiga sejumlah punggawa dan pejabat istana Negeri Alengka. Karena lama ditunggu tak keluar juga, akhirnya Radyan Sukesa, adik Dewi Sukesi berusaha menggedor pintu ruang persemadian. Semakin lama, semakin jengkel perasaan Radyan Sukesa, sehingga akhirnya ia menggedor pintu ruang persemadian sambil memaki-maki Begawan Wisrawa. Begawan Wisrawa terbangun oleh keributan di luar ruang itu. Sampai di luar ruang, Begawan Wisrawa beberapa saat menghadapi Radyan Sukesa, yang masih juga memaki-maki dirinya. Karena jengkel, Begawan Wisrawa seketika timbul amarahnya. Radyan Sukesa, dikutuk oleh Begawa Wisrawa dan terkena sawab ‘SastraJendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’, sehingga tubuhnya berubah menjadi raksasa. Radyan Sukesa yang tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi raksasa, sangat menyesali perbuatannya. Ia lalu meminta ampun dan meminta Begawan Wisrawa untuk me-‘ruwat’ dirinya. Namun, Begawan Wisrawa mengatakan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Radyan Sukesa yang telah berubah wujud itu, kemudian mengubah namanya menjadi Radyan Prahasta.[3]

Di hadapan sahabatnya, Prabu Sumali, Begawan Wisrawa meminta maaf dan berjanji akan bertanggung-jawab atas terjadinya malapetaka yang terjadi. Dewi Sukesi akhirnya menikah dengan Begawan Wisrawa. Pada saat yang sama, Prabu Sumali yang bertubuh raksasa, juga meminta kepada Begawan Wisrawa untuk ‘me-ruwat’ dirinya menggunakan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat,Pangruwating Diyu’ . Permintaan itu disetujui Begawan Wisrawa, dan Prabu Sumali kemudian diruwat  oleh Begawan Wisrawa, sehingga seketika tubuhnya berubah menjadi manusia yang tampan.

Sementara di Negeri Lokapala, Prabu Danapati mendapat berita dari punggawanya yang bernama Tenung Goh Muka, bahwa ayahandanya yang berangkat mewakili dirinya, justru akhirnya menikah dengan Dewi Sukesi. Mendengar berita itu, Prabu Danapati amat sangat marah. Tanpa menunggu waktu, ia dan seluruh pasukannya berangkat menyerbu Negeri Alengka. Sesampai di Negeri Alengka, Prabu Danapati menantang perang dan meminta supaya Begawan Wisrawa keluar dari benteng. Namun, tantangan itu tidak dilayani oleh Begawan Wisrawa. Terdorong kemarahannya yang semakin memuncak, Prabu Danapati memerintahkan pasukannya untuk membakar Negeri Alengka.

Untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar, Begawan Wisrawa akhirnya keluar dari benteng untuk menemui anaknya, Prabu Danapati. Menggunakan kereta perang yang ditarik delapan ekor kuda putih, Begawan Wisrawa memacu kereta perangnya melewati lautan api, yang berkat kesaktiannya, lautan api yang dilewatinya itu seketika padam. Pertemuan bapak dan anak itu, sekarang berubah menjadi puncak-puncak kebencian yang luar biasa. Dengan kemarahan yang memuncak, Prabu Danapati menghunus keris pusakanya dan menusukkan ke tubuh ayahandanya, Begawan Wisrawa. Pada saat ditusuk keris oleh anaknya, Begawan Wisrawa tak melawan sama sekali. Keris yang ditusukkan ke tubuh Begawan Wisrawa tak mempan membunuhnya.

Pertempuran keduanya berlangsung lama dan tak berkesudahan, sehingga membuat para dewa menjadi risau. Akhirnya, diutuslah Bathara Narada untuk memisah keduanya. Atas permintaan Bathara Narada, pertempuran ayah dan anak itu akhirnya dihentikan. Ayah dan anak yang saling bertempur itu, menghaturkan sembah baktinya kepada dewa yang telah berkenan menghentikan pertempuran keduanya. Bathara Narada lalu menasehati keduanya, supaya menghentikan permusuhan. Sedangkan kepada Prabu Danapati, Bathara Narada tetap mempersalahkan dirinya. Pertama, Prabu Danapati dipandang bersalah karena dianggap menjerumuskan ayahandanya, sehingga ayahandanya mengalami peristiwa pertemuan dengan Dewi Sukesi, yang berakhir dengan diajarkannya ilmu pengetahuan ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada seseorang, yang dipandang tidak tepat sebagai penerima ilmu itu. Kedua, Prabu Danapati dipandang bersalah, karena melawan orang tuanya sendiri. Ketika mendengar nasehat Bathara Narada, seketika itu pula timbul penyesalan pada diri Prabu Danapati. Ia lalu meminta maaf kepada ayahandanya. Dan, untuk menebus kesalahannya, Prabu Danapati juga menyampaikan rasa penyesalannya dengan mengatakan (mengutuk dirinya sendiri) bahwa pada suatu ketika nanti, ia ingin mati oleh salah satu anak yang dihasilkan dari pernikahan antara ayahandanya dengan Dewi Sukesi.[4] 


Cerita versi pertama dan kedua

Cerita di atas, merupakan versi yang paling banyak ditampilkan oleh para dhalang wayang kulit purwa. Namun, ternyata ada cerita versi lain yang sangat berbeda, yang nyatanya juga kurang dikenal, serta jarang dimainkan oleh para dhalang wayang kulit purwa. Pada versi kedua ini, diceritakan bahwa Dewi Sukesi sebenarnya berhasil mengatasi semua ujian fisik dan psikologis, selama proses penerimaan seluruh ajaran ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’. Pada versi kedua ini, Dewi Sukesi diceritakan berhasil mempraktikkan ilmu ‘SastraJendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ untuk ‘meruwat’  ayahandanya, Prabu Sumali; sehingga berubah menjadi manusia yang tampan. Sedangkan pada cerita versi pertama, proses meruwat  diri Prabu Sumali ini, dilakukan oleh Begawan Wisrawa.

Pada cerita versi pertama, diceritakan bahwa selama proses pengajaran ilmu ‘Sastra JendraHayuning Rat, Pangruwating Diyu’ itulah terjadi persetubuhan antara Dewi Sukesi dengan Begawan Wisrawa. Sedangkan pada cerita versi kedua, sama sekali tidak terjadi persetubuhan di antara keduanya. Pada cerita versi kedua, Dewi Sukesi akhirnya memang menikah juga dengan Begawan Wisrawa, tetapi pernikahannya bukan karena keterpaksaan, melainkan karena sesuai persyaratan yang diajukan, DewiSukesi bersedia menikah hanya dengan pria yang berhasil menjabarkan dan mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada dirinya. Karenanya, Dewi Sukesi tidak bersedia dinikahkan dengan Prabu Danapati, karena bukan dia yang berhasil menjabarkan dan mengajarkan ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ kepada dirinya, melainkan ayahandanya. Cerita versi kedua ini, oleh sahabat saya dinyatakan pernah dipentaskan dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa oleh seorang dhalang dari Surakarta yang bernama Ki Naryo Carita. Penjelasan lain yang juga disampaikan oleh sahabat saya itu, menyatakan bahwa cerita versi pertama lebih dikenal sebagai cerita versi Jawa. Sedangkan cerita versi kedua, dinyatakan sebagai cerita versi Sunan Kali Jaga. Secara obyektif, kedua versi cerita diatas, sebenarnya sama-sama masuk akal dan logis alur cerita maupun peristiwa yang disampaikannya. Namun, pada cerita versi yang kedua, terasa mempunyai nuansa ajaran tentang kehidupan yang lebih baik. Misalnya, bahwa Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa dinyatakan berhasil melewati ujian psikologis yang lua rbiasa berat, yakni keduanya berhasil mengatasi dan mengendalikan nafsu jasmaniah duniawinya, sehingga di antara keduanya tidak terjadi persetubuhan selama proses pengajaran ilmu ‘Sastra Jendra Hayuning Rat, Pangruwating Diyu’ dilaksanakan. Ini merupakan sebuah pemahaman, yang sebenarnya secara obyektif harus dikatakan memang jauh lebih baik, meskipun versi yang kedua ini nyatanya memang kurang dikenal.  

_______________________________

[1]      Terjemahan bebas: Mulailah  hamba melantunkan,| Tembang kuna saat malamhari, | O, | Berhiaskan Sang Bulan (purnama),| O,| Dan Bintang Daradasih,|Sayup-sayup menyeruak,| Samar di saat malam hari,| O,| O,| Nyanyian indah nanmenarik,| O,| O.

[2]      Terjemahan bebas: O, | Aku hendak membacaMantera Manyura,| Samar-samar bagaikantak nampak wujudnya,| Sayup-sayup padasaat malam,| Sayup bagai dibawa olehangin,| O,| Merasuk ke dalam hati,| Berhiaskan sebuah mantera,| Tak samar lagi akan kejernihan jiwa,| Yang mendapat penerangan jiwa di saat sunyi,|O,| Saatberada di antara (mata yang) terpejam dan terjaga,| Duh Gusti (Tuhan) jimat hamba,| Aku menginginkan diriku seperti yang kuinginkan...

[3]      Di masa selanjutnya, yakni pada masapemerintahan Prabu Rahwana atau Prabu Dasamuka, Radyan Prahasta diberikedudukan sebagai maha-patih Negeri Alengka, dan berjuluk Patih Prahasta.

[4]      Dari pernikahan Begawan Wisrawadengan Dewi Sukesi, akhirnya lahirlah empat anak, yaitu Rahwana (Dasamuka), Kumba-Karna,Sarpa-Kenaka, dan Gunawan Wibisana. Di masa kemudian, Prabu Danapati akhirnya memangterbunuh oleh Rahwana.