Rabu, 24 Juli 2013

BIMA, SEORANG KSATRIA DAN MAHASISWA YANG TEGUH, TEGAR, DAN BIJAK MENETAPKAN SIKAP

Sahabat-sahabat kinasih saya,

Kali ini, kita berhadapan dengan tokoh Bima dan belajar darinya tentang makna seorang guru dan perannya dalam kehidupan kita. Semoga tulisan ini bisa membawa kita menjadi manusia yang jauh lebih baik dan lebih bijak. Terima-kasih juga saya ucapkan kepada sahabat kinasih saya Iskandar Sumowiyoto, yang telah mengingatkan saya, tentang tokoh Bima ini.....

Bima, adalah murid yang sangat patuh kepada gurunadinya, yaitu Sang Pandhita Durna. Sebagai seorang murid yang sangat menghormati gurunya, Bima bahkan bersedia melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak masuk akal sehat, hanya untuk memenuhi permintaan gurunya. Tetapi, Bima adalah seorang ksatria yang tidak hanya memakai rasa semata, tetapi juga memakai akal dan otaknya untuk mencerna berbagai hal yang diminta untuk dijalankan oleh gurunya. Berbagai permintaan gurunya itu, menjadikannya berpikir dan merenungkannya dalam-dalam, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa seorang guru memperlakukan dirinya seperti itu.

Perenungan yang dalam, hening, tenang, dan tidak direcoki hawa nafsu dan emosi; serta kepasrahannya kepada Gusti Yang Murbeng Jagat, membuat Bima disadarkan atas jati dirinya, atas baik dan buruk peri-lakunya, atas tanggung-jawabnya terhadap masa depannya, atas hubungan dan perannya dengan hati kecilnya, atas perannya sebagai seorang ksatria yang berdarma bakti utama, serta pemahamannya atas hubungan antara guru dan murid. Karena itu pula, permintaan gurunya yang sampai pada tahap tidak masuk akal sekalipun, dimaknai sebagai suatu petuah guru yang harus diturut, tetapi dalam konteks tidak diturut mutlak begitu saja. Karena itu pula, Bima tidak pernah menyatakan 'tidak sanggup' kepada gurunya. Dalam cerita yang manapun, Bima selalu mengatakan kesanggupan lebih dahulu dengan sepenuh hati dan tanpa keraguan sedikitpun. Setelah dijalani, barulah Bima membuat kesimpulan berdasar kerendahan hati, kebeningan hati, dan wawasan pengetahuan raga dan rasa yang menjadi bekal kehidupannya.

Meskipun akhirnya Bima juga sadar dan memahami bahwa Pandhita Durna sebenarnya hendak mencelakakan dirinya, tetapi ia tetap sangat menghormati Pandhita Durna sebagai gurunya. Kesadaran dalam hati nuraninya yang bening, menjadikan ia memahami, bahwa jika saja fatwa dan permintaan Pandhita Durna itu tidak pernah disampaikan kepadanya, maka ia besar kemungkinan ia juga tidak akan pernah menemukan jati dirinya. Bahkan, sangat mungkin ia juga tidak akan pernah bisa bertambah wawasan, kepandaian, dan ilmu pengetahuannya. Jadi, dalam pemahaman Bima, permintaan Pandhita Durna itulah yang membuat Bima akhirnya bisa menemukan jalan untuk menjadikan dirinya seorang ksatria berdarma utama, obyektif, dan tetap memakai kedua kemampuan (rasio dan rasa), yang dikaruniakan kepadanya oleh Yang Maha Menguasai Hidup dan Matinya.....

Sesungguhnya, Bima sudah berperan dan bertindak menjadi seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga menjadi seorang mahasiswa yang mempunyai wawasan sangat terbuka, serta memakai dua kemampuan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya secara seimbang dan bijaksana. 

Sekarang, cobalah kita bandingkan dengan diri kita sendiri. Sudahkah kita bersikap seperti Bima? Untuk membangun bangsa Indonesia, kita memerlukan berjuta-juta Bima, dan bukannya satu atau sekedar dua Bima semata. Lalu, coba juga renungkan peran guru-guru atau dosen-dosen anda yang dulu pernah mengajar diri anda. Bukankah anda juga pernah bertemu dengan guru atau dosen yang juga pernah berperi-laku seperti Pandhita Durna? Guru atau dosen yang di mata khalayak muridnya dipandang sebagai orang yang selalu memojokkan dan membuat anda kepada sejumlah kesulitan, karena memberi tugas yang menyulitkan dan mungkin juga tidak masuk akal. Bagaimana sikap anda saat anda sudah dewasa sekarang? 

Semoga anda semua sahabat-sahabat saya bisa belajar dari seorang Bima, dan menjadikan kehidupan anda semua menjadi jauh lebih baik dan lebih bijak. Dan, bisa mengarungi badai di samodra kehidupan secara tegar, teguh, dan tanpa ragu-ragu sedikitpun. Semoga.

Salam hangat dan hormat saya untuk anda semua, sahabat-sahabat kinasih saya.

Bram Palgunadi


Bima, seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga seorang 'mahasiswa', dan sama sekali bukanlah seorang 'minisiswa', yang menerima dan menelan mentah-mentah begitu saja semua kata-kata gurunya. Ia merupakan gambaran manusia yang selalu teguh dan tegar dalam pendirian, serta bijak dalam bersikap.
Bima, seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga seorang 'mahasiswa', dan sama sekali bukanlah seorang 'minisiswa', yang menerima dan menelan mentah-mentah begitu saja semua kata-kata gurunya. Ia merupakan gambaran manusia yang selalu teguh dan tegar dalam pendirian, serta bijak dalam bersikap.

MENGAPA BIMA BISA LEBIH PANDAI DARI PADA PANDHITA DURNA GURUNYA?

Sahabat kinasih saya Iskandar Sumowiyoto, bertanya kepada saya: "Kita sudah menghasilkan begitu banyak sarjana, tetapi mengapa bangsa kita tidak bisa semaju bangsa lain?" Terus terang, ini merupakan pertanyaan menggelitik yang sangat mengganggu hati sanubari dan emosi saya. Di bawah ini, tulisan asli Mas Iskandar dalam bahasa Jawa.

Bener Mas Bram. Bima dadi ksatria sing pinter lantaran Pandita Durna. Nanging wusanane, kapinterane Bima dhuwur ngungkuli kapinterane sang Gurunadi Pandita Durna. Nah apa darunane, dene saya akeh sarjana, nanging geneya negara tetep durung bisa maju katimbang negara manca. Apa gurune sing durung padha netepi darmane? Mara gage mas Bram sajarwaa, aku nedya ngangklungaken jangga nilingaken karna.

Terus satu ungkapan lagi dinyatakan olehnya.

Budhalan jadi guru. Minat orang jadi guru sekarang meningkat. Konon katanya gajinya gede. Lebih-lebih kalau sudah dapat tunjangan sertifikasi. Hasilnya..., Program sertifiasi gak ngaruh terhadap out-putnya, yaitu peserta didik. NEM dari tahun ke tahun di SD Kampungku ya segitu-segitu saja, dari mulai gurunya masih wiyatabakti hingga sekarang telah memperoleh sertifikasi.

Banyak sarjana dihasilkan, tapi negara kita belum bisa maju. Itu banyak sebabnya. Salah satu yang menurut saya penting untuk direnungkan adalah peran guru atau dosen; serta peran muridnya.

Sebagian besar guru atau dosen, juga muridnya; belum bisa menerapkan darmanya sebagai manusia merdeka. Guru atau dosen,tidak bersedia berperan melakukan 'darma baik'. Kalau guru dan dosennya tidak bersedia melakukan 'darma baik', bagaimana muridnya bisa mempunyai 'darma baik' di masa depan? 

Banyak guru dan dosen yang mengajar hanya sebatas 'sebagai pegawai yang dibayar untuk mengajar'. Bukan membukakan ilmu pengetahuan dan wawasan, serta meyakinkan muridnya bahwa ilmu pengetahuan tak akan ada artinya jika tanpa laku dan tindakan. Banyak yang akhirnya mengajarkan ilmu sebatas seberapa besar bayarannya. Murid seharusnya memang harus lebih pintar dan jauh lebih sakti dari pada gurunya. Celakanya, banyak guru dan dosen yang tidak rela dikalahkan oleh muridnya. Murid yang baik, seharusnya tidak bergantung kepada guru atau dosennya, melainkan harus bisa mengungguli. Dosen atau guru, seharusnya berperan membekali muridnya. Sehingga si murid harus bisa melesat ke angkasa bagaikan anak panah. Jika guru atau dosennya tidak bersedia dikalahkan muridnya, maka yang terjadi murid akan selalu menjadi 'anak bawang', yang tidak akan pernah bisa melesatkan cita-cita dan mimpinya setinggi bintang. Kalau hal ini yang terjadi, maka dosa yang paling besar terletak pada guru atau dosennya.....

Tanyalah pada gurumu atau dosenmu, apa ilmu yang dimilikinya, dan apakah ilmu itu dia yang mengembangkannya sendiri, atau ia sekedar mengajarkan ilmu orang lain? Kenyataannya, jawaban yang terbanyak adalah mereka menjadi pengajar ilmu orang lain. Ini menjadi salah satu hal yang membuat kita tidak merdeka dan tidak bisa maju. Bagaimana bisa maju? Kalau mereka mengajarkan ilmu milik orang lain. Tentu saja orang lain (si pemilik ilmu) akan jauh lebih pintar dari dia bukan?

Tanyakan juga pada guru atau dosenmu, buku teori apa yang sudah dia tulis untuk muridnya? Atau, penelitian apa yang sudah dia lakukan untuk kemajuan bangsanya? Atau, benda apa yang sudah dia buat untuk bangsanya? Atau, apa yang sudah dia lakukan untuk masyarakat di sekelilingnya? Tanyakan juga, jika dia tidak dibayar, apa dia masih mau dia berbagi ilmu dan tetap mengajar murid-muridnya? Lalu hitunglah dengan sepuluh jari tanganmu, berapa orang guru atau dosen yang melakukan 'darma baik'. Besar kemungkinan, engkau tidak akan bisa mendapatkan sepuluh orang guru atau dosen yang memenuhi 'darma baik' itu. Padahal, untuk bisa memajukan suatu bangsa, kita memerlukan berjuta guru dan dosen yang sanggup melakukan 'darma baik' untuk murid-muridnya....

Indonesia memang masih belum waras. Dan, guru atau dosen yang bersedia melakukan 'darma baik' masih terlampau sedikit. Kalau orang lain tidak mau melakukannya, mengapa kita tidak berdiri saja di garda paling depan dan melakukan 'darma baik' sebisa kita dan semampu kita. Meskipun mungkin kita harus melakukannya sendirian dan mungkin juga harus melawan arus. Maju terus pantang mundur! Rawe-rawe rantas,malang-malang putung! Jangan takut, Yang Berkuasa Atas Hidup dan Mati kita, tak pernah tidur! Colok lintang obor rembulan, jadilah manusia dewasa, meskipun dengan segala keterbatasan, bangkit dan mulailah dari sekarang, dan berangkatlah segera menuju masa depan, teguhkan hati dan niatmu, menerjang badai dan gelombang samodra luas tak bertepi, menuju tanah harapanmu......


Mempersiapkan murid menjadi seorang dewasa, yang berani menempuh badai, bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana dan sejak dini.
Mempersiapkan murid menjadi seorang dewasa, yang berani menempuh badai, bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana dan sejak dini.

Apakah seorang guru atau dosen harus menjadi sosok manusia yang ditakuti muridnya? Kalau ini yang terjadi, jangan harap murid akan menjadi sosok yang berani melesatkan cita-cita dan mimpinya jauh setinggi bintang.
Apakah seorang guru atau dosen harus menjadi sosok manusia yang ditakuti muridnya? Kalau ini yang terjadi, jangan harap murid akan menjadi sosok yang berani melesatkan cita-cita dan mimpinya jauh setinggi bintang.

Guru atau dosen dengan muridnya, seharusnya mempunyai relasi yang cukup baik dan erat. Sehingga murid bisa cukup bebas mengungkapkan berbagai kesulitan dan halangan yang dihadapinya.
Guru atau dosen dengan muridnya, seharusnya mempunyai relasi yang cukup baik dan erat. Sehingga murid bisa cukup bebas mengungkapkan berbagai kesulitan dan halangan yang dihadapinya.


CANGIK DAN LIMBUK, DUA SAHABAT DENGAN KESETIAAN TANPA BATAS

Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.
Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu, mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.



Di dunia pewayangan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan 'keputren' di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh dikatakan selalu ada di setiap pagelaran wayang. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah 'dua sahabat' dan bukannya memakai istilah 'dua wanita'. Memang keduanya, Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya sudah meningkatkan level dirinya, menjadi 'dua sahabat' bagi sang putri atau permaisuri yang diikutinya.

Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang, khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai 'pembantu' seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yang bisa dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka berdua, Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yang kita kenal. Mereka berdua, adalah 'panakawan', yang artinya 'sahabat'. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yang peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan ksatria yang lebih banyak diekspos dan ditampilkan.

Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak sebagai 'rewang' bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yang bernama 'Limbuk", keduanya merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka berdua, bukanlah orang biasa! Mereka berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang, mereka berdua itu termasuk orang-orang yang 'berada di lingkaran ring satu', yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga 'pemegang rahasia' sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yang bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator, menko).

Cangik dan Limbuk, bukanlah 'babu' seperti yang banyak digambarkan orang. Mereka berdua, adalah 'rewang'. Dalam bahasa Jawa, artinya 'orang yang membantu'. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah 'pembantu' (babu). Rewang, artinya 'penolong'. Istilah 'ngrewangi', artinya membantu atau menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya [1], dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang 'rewang' akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yang sama dengan junjungannya. Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yang diikutinya.[2]  Mereka bukanlah 'orang belakang', tetapi lebih tepat disebut sebagai 'orang dalam'. Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yang sangat  luar biasa, yang berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah 'parekan' (dayang-dayang). Kalau di jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut 'asisten pribadi'.

Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.

Cangik dan Limbuk, menggambarkan 'asisten pribadi' seorang putri/wanita. Di negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang nyata). Bahagialah anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang tanpa batas. Selamat merenungkan......

________________________________

 [1] Saya mempunyai seorang sahabat karib (seorang pria) bersuku-bangsa Jawa, yang rumah-tangganya berantakan, gara-gara isterinya selingkuh dengan seorang pemuda yang kost di rumahnya. Rewangnya, seorang wanita tua, dengan berani dan tanpa ragu-ragu memarahi majikan perempuannya dan mengusir kedua pasangan selingkuh itu dari rumah tinggalnya. Selama bertahun-tahun setelah peristiwa itu, sahabat karib saya itu, dirawat, dilayani, dan dijaga oleh rewangnya ini, seperti seorang ibu menjaga anaknya. Hal ini, secara jelas menunjukkan bagaimana peran seorang rewang dalam kondisi yang sebenarnya.

[2] Saya, sewaktu masih kecil, tinggal di Yogyakarta (sekitar tahun 1952 - 1959), sempat merasakan bagaimana seorang rewang keluarga yang bernama Mbok Wirya, setiap hari merawat saya dan adik-adik saya. Mbok Wiryo ini, setiap hari menggendong saya dan menimang-nimangnya seperti anaknya sendiri, seringkali sampai saya tertidur. Saya masih ingat benar, bagaimana Mbok Wiryo, seringkali menggendong diri saya yang saat itu masih kecil, sambil menyanyikan tembang Jawa 'Pendhidisl-pendhisil', 'Jamuran', 'Gathutkaca Edan', 'Cempe-cempe', atau 'Kebon Raja'. Sungguh merupakan kenangan indah di masa kecil saya yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.


________________________________________
Di bawah ini, saya tambahkan cerita Mas Yohanes Triwidiantono, yang sangat menyentuh perasaan.

Yohanes Triwidiantono 09 Mei 5:46

Pak Bram ingkang kinurmatan, Saya juga punya kenangan sepanjang hayat seperti panjenengan; sewaktu kecil (1962 - 1968) saya dimong oleh mbok-dhe Karso, yang adalah suami-isteri tetangga sebelah rumah, tanpa anak. Bukan hanya mbok-dhe Karso yang nggemateni saya, namun juga pakdhe Karso. Oleh orang-tua saya, suami-isteri ini digaduhi sepasang cempe. Tak heran, saya pun sering ikut angon cempe ke ladang. Yang saya tahu adalah saya dijagai melebihi apapun, termasuk memenuhi keinginan dan saya. Suatu saat saya diberi pondoh (pucuk batang pohon kelapa), karena terasa manis lembut dan tidak keras, saya menikmatinya, sayang hanya sedikit karena hanya pembagian entah tetangga mana yang menebang pohon. Saya bertanya asal-usul pondoh itu, dan dijelaskan apa adanya. Ketika suatu saat pakdhe Karso memetik kelapa, saya minta pondoh. Ibu saya terperanjat, dan bilang bahwa yang bisa dipentik hanya dawegan, pondoh tidak bisa dan tidak ada. Saat pakdhe turun tidak membawa pondoh, saya ngambek. Hari berikutnya pakdhe keliling kampung mencari orang menebang kelapa, tidak ketemu, sampai akhirnya ketemu di kampung tetangga ada yang menebang. Dengan segala upaya pakdhe minta pondoh kepada pemilik pohon. Sampai saya menjadi seorang bapak, olok-olok ini masih sering saya dengar dari ayah saya, bahwa asaya minta pondoh pada pemetik kelapa. Setelah sekolah di SD, saya diikutkan ke keluarga kakek-nenek saya yang jaraknya sekitar 10 km. Orang-tua saya bekerja ke Malaysia (1969 - 1973). Sepertinya, ini petaka bagi pakdhe-mbokdhe Karso, hampir tiap minggu menjenguk saya. Keduanya tidak dapat bersepeda, hanya berjalan kaki. Lama-lama berangsur semakin jarang menjenguk saya, tetapi saya tidak tahu penyebabnya. Namun mereka masih tetap berkunjung, yang saya tahu mereka pasti selalu membawa hasil kebun seperti; ketela, nangka, pisang dsb. dan masih setia menunggui sampai saya memakannya. Kunjungan mereka masih saja terus berlangsung hingga saya dewasa, bahkan sepasng cempe yang sudah menjadi belasan ekor tidak pernah diakui sebagai miliknya, tetapi dianggap itu milik saya, padahal ayah saya sudah menyerahkan semuanya kepada mereka. Ketika ada yang dijual, uangnya diberikan kepada saya. Setelah saya dewasa dan kuliah ke luar kota, mereka masih berkunjung ke orangtua saya, mencari-cari saya sambil membawa hasil kebun. Setiap pulang ke Yogya, saya memang kadang menyempatkan mampir ke rumah (sebenarnya gubuk) mereka, hanya sekedar memberi sebotol kecil madu sebagai buah tangan, tapi malah mereka memberi saya beras sekandi. Sekarang, mereka memang sudah tiada, pakdhe Karso sudah sekitar 10 tahun yang lalu, dan mbokdhe sekitar 5 tahun lalu. Tidak ada barang apapun di dunia ini yang dapat menggantikan kasih-sayang mereka kepadaku, juga baktiku kepada mereka tidak akan mungkin sebanding. Gubuknya ditinggali oleh anak angkat (pupon) mereka, tetapi saya tidak kenal. Saya kadang berkunjung ke gubuk itu, tapi tidak ada kata yang dapat menjelaskan apapun mengenai hubungan saya dengan pakdhe dan mbokdhe Karso.

Rabu, 10 Juli 2013

SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS (PART 1)

Srikandhi memang terkenal sebagai gadis yang cantik rupawan, sexy, sensual, dan karena itu pula banyak pria yang tergila-gila padanya. Tetapi kepandaiannya berkelahi sudah jelas membuat ciut para pria teman-teman sebayanya.


Srikandhi sebagai seorang gadis 'tomboy' yang hidup di kalangan keluarga istana Kerajaan Pancala Radya, memang terkenal sebagai seorang gadis yang pandai, bengal, tangkas, pandai berkelahi, sexy, sensual, pandai bergaul, pandai pula bicara, dan berani dalam banyak hal. Matanya yang besar dan selalu berbinar-binar saat memandang lawan bicaranya, seolah memancarkan sihir yang memukau lawan bicaranya. Sehari-hari Srikandhi, selalu berdandan dan menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Namanya juga 'gadis masa sekarang'. Di kampus Universitas Negeri Pancala Radya, ia lebih dikenal sebagai seorang mahasiswi yang pintar, cerdik, berani, banyak pengetahuannya, dan sebagai seorang gadis ia dikenal suka berkata terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Karena ikut grup bela diri, maka Srikandhi juga dikenal sebagai 'gadis pemberani', yang sesekali juga ikut terlibat perkelahian jalanan atau membuat onar. Banyak teman sebayanya, yang tentu saja kebanyakan adalah pria, mengaguminya tetapi sekaligus juga agak takut kepadanya. Keberanian Srikandhi, seringkali juga membuat ciut nyali para pria yang mau naksir dirinya. Bagaimana nggak ciut, Srikandhi yang jago berkelahi itu kan anak penggede pemilik negara, anak Raja Pancala Radya, yang terkenal sebagai negara besar yang kekuasaannya sedemikian luas, dan disegani banyak negara asing.

Sebenarnya, Srikandhi tidak terlalu suka dikawal, ia merasa bisa mengatasi berbagai gangguan 'pria nakal' dan para bergajulan. Tetapi, pihak protokoler istana selalu memaksa untuk mengawalnya kemanapun ia pergi. Hal ini, sedikit banyak sering membuat hatinya jengkel. Gara-gara ada pengawal yang selalu menguntitnya, maka jika ia naksir cowok, selalu saja bubar acaranya, bubar pula rencananya, hanya karena di sekitarnya selalu berdiri beberapa orang satuan pengawal pribadi, yang dengan badan gempal, mata mengawasi dengan tajam, dan selalu bersikap waspada; memata-matai semua kegiatan sang putri nan cantik dan sexy itu. Ini sangat menjengkelkan dan makin lama, sejalan dengan bertambahnya umur sang putri yang semakin menginjak masa remaja, justru semakin ketat saja para pengawal pribadi itu menjaganya. Wuuuuiiiih....! Setiap kali, ada saja berbagai hal yang membuat sang putri ini mencak-mencak, tidak terima, atau marah-marah. Semuanya, gara-gara satuan pengawal pribadi yang menurutnya semakin lama semakin ketat saja mengawasinya, dan menurutnya mereka sama sekali tidak memberikan kebebasan pada dirinya! "Ke kamar kecil saja aku diawasi!" teriaknya suatu ketika, saat sang putri ini kebelet pipis, pas sedang di jalan raya dalam perjalanan pulang kuliah, dan ia dengan tiba-tiba minta berhenti dan langsung melompat ke luar dari mobil, lalu berlari-lari kecil masuk 'mall' mencari 'toilet'.... Tentu saja para pengawal pribadinya menjadi kalang kabut, dan segera ikut meloncat ke luar dari mobil, berhamburan mengikuti sang putri jelita yang berlari masuk ke dalam 'mall' dan terus diikuti sampai ke depan pintu toilet yang di atasnya bertuliskan 'ladies'....

Srikandhi, sang putri yang jago berkelahi, dikenal sebagai gadis yang juga pandai bicara.

Manajer  'mall', satuan pengamanan 'mall', dan beberapa orang yang berada di 'mall' menjadi gempar dan terjadilah kegaduhan, saat melihat seorang gadis berlari cepat diikuti sejumlah 'pria berbadan tegap berambut cepak'. Para 'pengejar' itu, tiba-tiba diberhentikan oleh petugas keamanan 'mall' yang meneriaki mereka: "Berhentiiii! Pria dilarang masuk ke area toilet wanita!" Kontan, para pengejar itu berhenti dan beberapa dari mereka mencabut senjata laras pendeknya, dan menodongkan ke kepala beberapa orang anggauta satuan pengamanan 'mall' sambil berteriak: "Mingggiiiiiir!
Kami pengawal istana kerajaan!" Para anggauta satuan pengamanan 'mall' itu tiba-tiba jadi lemas dan tak mampu berkata-kata lagi, setelah mereka melihat kartu identitas para pengawal pribadi itu disorongkan ke depan muka mereka. Srikandhi sudah masuk melewati pintu yang bertulis 'ladies'. Para pengawal tiba-tiba terhenti begitu saja di depan 'pintu sakti' itu. Semua orang, termasuk para pengawal pribadi dan para anggauta satuan pengamanan 'mall' berdiri termangu-mangu bagaikan patung batu di depan pintu 'ladies' itu.

Setiap kali ada yang keluar dari dalam toilet wanita itu, semua orang lalu memandanginya. Beberapa wanita yang ke luar dari toilet, berjalan sambil ngedumel: "Ngapain kamu lihat-lihat aku haaaah!?" Dan, para pria bertubuh gempal itu lama-lama jadi jengah juga, setiap kali ada wanita yang keluar dari dalam toilet wanita, tiap kali pula mereka menerima sumpah serapah seperti itu. Komandan pengawal pribadi tiba-tiba nyeletuk, seperti berkata kepada dirinya sendiri: "Ngapain aja ya Mbak Srikandhi? Kok lama sekali di dalam toilet? Katanya cuma mau pipis, tapi sudah lama begini kok belum keluar juga ya?" Ada nada sedikit curiga dalam kalimatnya.....

Srikandhi yang sedang pipis, sambil tersenyum memandangi dinding di sekeliling ruang 'pipis' itu. Tiba-tiba, dia seperti menemukan akal bulus, setelah melihat jendela kaca yang agak tinggi itu ukurannya besar dan ternyata mempunyai kunci tarik di sisi dalam dan kuncinya ternyata bisa dibuka dengan mudah. Dengan mendongakkan kepalanya, Srikandhi mencoba membuka jendela besar itu dan ternyata bisa! Ia melihat ke arah luar. Rupanya, yang dia lihat adalah halaman belakang 'mall'. Senyum lebarnya tiba-tiba menyeruak di mukanya. Akal bulusnya tiba-tiba muncul begitu saja di benak kepalanya. Setelah merapihkan pakaiannya, lalu dengan sigap tapi hati-hati dan tak menimbulkan suara, Srikandhi segera memanjat jendela dan meloncat ke luar! Sampai di luar, ia melihat sekeliling, celingukan, mencoba melihat apakah para pengawal pribadinya ada yang tahu atau tidak, ia sudah berada di luar gedung 'mall'. Setelah memastikan bahwa segalanya 'aman', maka Srikandhi segera berjalan menjauhi gedung 'mall' dan segera memanggil taxi. Dan....., lenyaplah Srikandhi dari pantauan para pengawal pribadinya! Di dalam taxi yang ber-AC Srikandhi duduk sambil tersenyum penuh kemenangan. "Ke Pantai Rose Garden Pak!" katanya kepada pengemudi taxi, yang tidak sadar siapa penumpangnya....  

Sementara itu, di depan pintu toilet komandan pengawal pribadi berjalan hilir-mudik tak sabar. Lalu, ia memanggil komandan satuan pengamanan "mall" dan berkata: "Mas....! Saya dan anak buah saya harus masuk ke dalam Mas! Masak cuma pipis kok lama begini! Saya takut orang yang saya kawal diculik!" Mendengar kata 'diculik', komandan satuan pengamanan 'mall' jadi pucat pasi. Ia sudah terbayang, kalau orang yang dicari itu ternyata benar diculik, maka iapun akan terbawa-bawa urusan yang pasti menjadikan hidupnya jadi kusut. Tetapi ia ragu-ragu. Aturan internal dan SOP pengamanan sekalipun, tidak membolehkan laki-laki masuk ke dalam ruang wanita. "Sebentar ya Pak, saya hubungi dulu atasan saya, untuk minta ijin masuk ke ruang ladies itu," kata komandan satuan pengamanan 'mall'. "Hlo...., kamu melarang kami masuk? Kamu kan sudah tahu siapa kami!? Apa kamu mau ditangkap!?" bentak komandan pengawal pribadi dengan muka garang. "Bukan begitu Pak, kami cuma menjalankan perintah atasan!" jawab sang komandan satuan pengamanan 'mall' dengan cemas. "Ya sudah, sana minta ijin! Cepaaaaat!" bentak komandan pengawal pribadi. Dengan tergesa-gesa komandan satuan pengamanan memakai handy-talky-nya untuk menghubungi atasannya. Dengan suara terbata-bata karena mulai panik, ia berkata: "Pak manajer keamanan, saya mohon ijin untuk masuk ke ruang toilet wanita!" Sesaat kemudian, terdengar jawaban yang meledak-ledak: "Apa katamu!? Mau masuk ke ruang toilet wanita!? Kamu kan kepala satuan keamanan, kenapa malah mau ngajari bertindak kurang-ajar? Apa kamu lupa SOP di 'mall' ini kan melarang laki-laki masuk ke ruang wanita! Apa kamu lupa itu haaah!?" Pucat pasi air muka sang komandan satuan pengamanan 'mall'. Keringat dingin mulai mengalir membasahi baju dinasnya. "Bukan Pak....! Bukan itu maksud saya. Saya mau masuk tidak sendirian, tapi dengan beberapa orang lainnya. Benar Pak, saya nggak mau masuk sendirian!" Jawaban dari ujung lainnya, semakin menyalak: "Mau masuk dengan orang lain!? Kamu benar-benar kurang ajar! Dibilangin sendiri saja dilarang, kok malah mau masuk beramai-ramai! Berengsek kamu! Apa kamu mau dipecat!? Memalukan manajemen saja kamu!" Mendengar suara yang menyalak bagaikan anjing menggonggong itu, sang komandan satuan pengamanan 'mall' semakin ciut nyalinya. Dengan keringat dingin mengucur deras, dia memandang komandan satuan pengawal pribadi, dan dengan muka kecut pucat pasi dia berkata dengan lesu: "Paaaak gagal Paaaak...... Gimana Yaaaa......?" Komandan satuan pengawal pribadi memandang wajah komandan satuan pengamanan 'mall' tanpa berkata-kata. Keduanya sama-sama bingung. Hilang sudah kegarangannya.

Mereka saling terdiam dan saling memandang. Lalu, tiba-tiba sang komandan pengawal pribadi berkata: "Mas....., bagaimana kalau kita nekat masuk saja bersama-sama? Nanti kalau ada yang marah, biar saya yang tanggung-jawab deh!" Mereka terdiam beberapa saat. Sang komandan satuan pengamanan menjawab perlahan: "Bagaimana ya Mas? Saya takut dimarahi atasan saya. Saya takut dipecat Mas. Tadi aja sewaktu saya minta ijin sama dia, kan Mas juga tahu, saya kan dimaki-maki." Diam lagi mereka berdua tak berkata-kata. Sama-sama bingung......Lima belas menit sudah berlalu. Habislah kesabaran sang komandan satuan pengawal pribadi. Dia lalu berkata: "Sudahlah Mas...., kita masuk sajalah, dari pada kita sama-sama nggak punya kepastian. Soal pipis, sudah jelas nggak masuk akal. Sudah lewat limabelas menit, masak belum selesai juga pipisnya? Ayo! Kita masuk sajalah!" Maka dengan tergopoh-gopoh mereka berramai-ramai masuk lewat pintu yang bertulis 'ladies'. Sejumlah wanita terbengong-bengong melihat para lelaki itu bergegas memasuki pintu 'ladies' itu. Lalu, mereka berhenti di sebuah pintu kedua, yang merupakan pintu masuk ke ruang toilet wanita. Pintu tertutup rapat! Tidak terdengar suara apapun dari dalamnya! Komandan satuan pengawal pribadi berkata kepada komandan satuan pengamanan 'mall': "Kita dobrak saja ya?" Dan, tanpa menunggu jawaban dari sang komandan satuan pengamanan 'mall', dengan suara keras pintu didobrak! Benturan badan sang komandan satuan pengawal pribadi membuat pintu terpelanting dengan suara gemeretak! Kuncinya gesernya terlempar, lepas dari tempatnya, sekrupnya pada rontok! Dan......... di dalam ruang toilet itu ternyata kosong! Sang putri Srikandhi benar-benar lenyap......!

Pucat pasilah wajah sang komandan satuan pengawal pribadi!  Terbayang sudah, hukuman, makian, dan sumpah serapah yang pasti akan diterimanya, saat ia melaporkan peristiwanya nanti kepada atasannya! Salah seorang anak buahnya, tiba-tiba datang membawa sebotol minuman segar. Disambarnya minuman botol itu tanpa berkata apapun, dan langsung ditenggaknya isinya sampai habis. Mereka semua terdiam tak tahu apa yang harus diperbuat. Perlahan-lahan, mereka semua berjalan gontai ke luar dari ruang toilet wanita itu. Seperti sepasukan tentara yang kalah judi, mereka berjalan bersama-sama dan kemudian memandang ke sekeliling 'mall', dan akhirnya menemukan deretan tempat duduk. Di tempat duduk itu, mereka semua duduk diam berderet-deret, sambil mencangkung dan menopang dagu, seakan sedang berpikir keras! Tidak seorangpun di antara mereka yang saling berkata-kata. Semuanya terdiam seribu kata.

Tiba-tiba HP komandan satuan pengawal pribadi berdering keras. Suara dering HP itu membuatnya begitu kaget, sampai-sampai pantatnya melonjak terangkat dari tempat duduknya. Lalu dengan tergopoh-gopoh diambilnya HP-nya dari sakunya. Dan, segera ia memencet tombol bergambar telepon berwarna hijau, dan segera mendengarkan di telinganya. Samar-samar, orang-orang di sekeliling sang komandan satuan pengawal pribadi itu bisa mendengar suara sang Srikandhi yang merdu dan nakal: "Pak komandan...., sudah hilang bingungnya? Jangan tanya saya ada di mana ya. Nanti saja, kalau urusan saya bersenang-senang sudah selesai, Pak komandan pasti akan saya telepon lagi. Sekarang Pak komandan dan anak buah Bapak jalan-jalan sajalah, sambil cariin saya cemilan dan minuman kaleng kesukaan saya ya. Jangan lupa, bawain saya hamburger ya..... Nanti akan saya beritahu deh, di mana saya, dan baru jemput saya di tempat yang nanti saya sebutkan. Ha ha ha ha." Tawa ceria Srikandhi yang nakal dan centil itu, terdengar samar-samar oleh semua orang yang duduk berdekatan dengan komandan satuan pengawal pribadi. Suara telepon pun terputus tiba-tiba......

Air muka komandan satuan pengawal pribadi itu, tiba-tiba berubah menjadi sumringah, meskipun di wajahnya masih tampak keringat kepanikan yang dari tadi mengalir deras. Hilang sudah rasa takutnya.  "Mas...., ayo saya traktir makan dan minum di restauran yang ada di sekitar sini!" katanya tiba-tiba kepada komandan satuan pengamanan 'mall', yang dengan terbengong-bengong melongo masih tak mengerti apa yang sedang terjadi.....



SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS (PART 2)

Srikandhi telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa yang mempesona. Postur tubuhnya yang tinggi semampai, wajahnya yang selalu cantik dan penuh ceria, selalu membuat para pria terpesona saat mereka memandangnya.

Sang Sasadara telah menyinarkan cahaya purnamanya ke angkasa luas. Cahayanya bersinar keemasan di antara mega-mega, seakan hendak menyampaikan tarian cerita sendu. Bias cahayanya, berpendar-pendar menyeruak di antara gumpalan awan yang berjalan perlahan dengan enggan. Sepasang burung malam, tampak terbang berputaran dengan cekatan, saling menyambar di atas angkasa malam Pancala Radya, bagaikan menarikan bias kehidupan manusia di alam janaloka. Lalu, dari kejauhan, terdengar samar-samar terbawa sang Samirana, tembang Kidung Kinanthi dinyanyikan para pradangga danwaranggana, meniti lembut nada-nada Ketawang Pangarum-arum, melantunkan cerita-cerita parwa yang menyayat hati, bercerita tentang hidup dan perjalanan manusia, saat gamelan ditabuh memainkan rangkaian Talu yang menyentuh pagelaran agung kehidupan anak-anak manusia. Bercerita tentang hidup dan mati. Tentang kelahiran dan kematian. Tentang kemegahan dan kesengsaraan. Tentang cinta dan kesedihan. Tentang 'sangkan paraning dumadi'  manusia, yang pada suatu ketika nanti pasti akan 'bali mulih mring mula-mulanya' (kembali pulang ke asal mulanya).  Tentang kesendirian, yang membuat siapapun yang mendengarnya akan terketuk relung hatinya dan meneteskan air mata. Maka Talu-pun dimulai, menceritakan berbagai peristiwa kehidupan Sang Srikandhi, putri Pancala Radya....


Wus munya gangsa ing dalu,
Angelangut gya rinukmi,
Tembanging carita parwa,
Ngarum-arum wanci ratri,
Rinengga wulan kartika,
Heneng hana hanawengi.
Wus munya gangsa gya Talu,
Suluk myang tembang respati,
Ginawa Sang Samirana,
Kidung kandha jroning ratri,
Angidung lakoning jalma,
Sesuluh laku utami. [1]


Sang Srikandhi diam termenung di malam itu. Gelisah perasaannya. Berita-berita tentang para kerabat Pandhawa yang diusir dari Hastina-Pura oleh para kerabat Kurawa, telah sampai pula di telinganya. Berita-berita tentang peristiwa pengusiran kerabat Pandhawa itu, setiap hari memenuhi halaman depan koran dan televisi Pancala Radya dan berita-berita itu selalu menjadi 'headline' yang ditulis dengan huruf-huruf yang besar dan mencolok, disertai dengan ulasan, bahasan, dan cerita; yang hampir semuanya menyalahkan dan memojokkan para kerabat Pandhawa, akibat peri-lakunya kalah berjudi melawan para kerabat Kurawa. Miris hatinya, jika merasakan bagaimana sekelompok kerabat ksatria itu diperlakukan secara nista dan hina. Tetapi saat membaca banyak berita itu, Srikandhi juga bisa merasakan, menimbang, serta membuat kesimpulan; bahwa segala peristiwa itu sebenarnya dimulai dari kebodohan para kerabat Pandhawa sendiri, yang menerima begitu saja tantangan berjudi dari para kerabat Kurawa, tanpa tahu bahwa sebagian besar dari lawannya itu terkenal sebagai penjudi ulung yang licik. 

Srikandhi, sebenarnya tidaklah begitu kenal dengan para kerabat Pandhawa itu. Tetapi berita-berita yang sangat gencar dan membanjirinya setiap saat, membuatnya sedikit-banyak terpengaruh juga. Timbul rasa kasihan setiap kali melihat tayangan di televisi yang memperlihatkan bagaimana para kerabat Pandhawa itu diolok-olok, direndahkan, dan dihinakan martabatnya secara keterlaluan oleh para kerabat Kurawa. Para kerabat Pandhawa itu, diusir dan diperlakukan seakan seperti segerombolan anjing kurap saja. Martabatnya direndahkan sedemikian rupa, sehingga mereka dianggap tak perlu diperlakukan sebagai manusia. Benar-benar keterlaluan.....

Myat langening kalagyan,
Aglar pandham muncar....[2]

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan warsa demi warsa; berlalu begitu saja tak terasakan. Begitu lama berlalu, sehingga akhirnya berita tentang kerabat para Pandhawa itu hilang ditelan waktu. Seakan mereka lenyap dan musnah dari muka bumi. Semua kehidupan, seakan kembali seperti awal mulanya. Begitu pula Sang Srikandhi, kembali kepada kehidupan sehari-harinya yang penuh dengan berbagai kegiatan seperti dulu. Tak terasakan, waktu telah berlalu begitu lama, dan Sang Srikandhi telah menjelma menjadi seorang putri remaja yang dewasa. Tubuhnya yang semampai, dengan perawakan tegak tinggi bagaikan seorang ksatria, tampil dengan berbagai kepandaian dan kelincahan dalam berolah diri. Sahabat-sahabatnya yang dulunya menjulukinya sebagai 'si pembuat onar', telah lama mengganti julukannya menjadi 'si jelita dari Pancala Radya'. Julukan ini, kelihatan memang lebih cocok untuk Sang Srikandhi yang sudah mulai menginjak dewasa dan seringkali tampil lebih lembut, meskipun masih juga kelihatan 'tomboy'. 

Hari itu, Sang Srikandhi nan jelita baru pulang dari sebuah kuliah 'stadium generale', yang membahas tentang 'ksatria dan perannya dalam bela negara'. Kuliah umum seperti ini, sangat disukai Sang Srikandhi. Ia merasakan, bagaimana darahnya menggelegak, emosinya tersulut, dan semangatnya terbakar; saat mendengar kuliah yang dibawakan sangat berapi-api oleh seorang pejabat tinggi negara Kerajaan Pancala Radya, yang diundang secara khusus untuk memberikan kuliah, dalam rangka menanamkan rasa nasionalisme dan bela negara. Sambil berjalan keluar dari ruang kuliah umum, Sang Srikandhi berbincang riuh penuh semangat dengan sejumlah sahabatnya. Suaranya yang merdu, terdengar melengking nyaring, sesekali diseling dengan derai tawanya yang khas. Meskipun Sang Srikandhi merupakan putri seorang raja, tetapi saat berjalan bersama-sama dengan para sahabatnya, ia sama sekali tak terlihat canggung, dan sama sekali tak terlihat seperti layaknya seorang putri pemilik negeri Pancala Radya. Ia bahkan terlihat seperti remaja biasa, yang penuh dengan idealisme. Mungkin, hal ini juga ditunjang pakaian sehari-harinya yang cenderung terlihat praktis, seperti pakaian pria saja. Celana panjang jeans berwarna biru tua, dengan kaos berlengan pendek warna putih, yang di bagian depannya ada tulisan 'We love our country', seakan hendak menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembela negeri Pancala Radya. Memakai sepatu 'lars' yang tingginya hampir selutut, dengan 'hak' yang agak tinggi, membuat dirinya terlihat semakin anggun saja. Bunyi langkah dan sepatunya yang beradu dengan ubin, menghasilkan bunyi ritmis, yang membuat semua orang berada di sekitarnya menoleh kagum kepada Sang Srikandhi yang cantik, sexy, dan penuh pesona.

Di dekat pintu gerbang keluar, Sang Srikandhi berhenti sejenak, dan dengan diring senyum manisnya yang sangat khas, ia berpamitan kepada sahabat-sahabatnya. Lalu, melambaikan tangannya kepada sahabat-sahabatnya, sambil mengucap: "See you tomorrow...."  Kemudian Sang Srikandhi berjalan menuju para pengawal pribadinya yang sudah menunggunya di depan pintu gerbang depan kampus Universitas Negeri Pancala Radya. Dengan sedikit tergesa-gesa, para pengawal pribadinya itu membukakan pintu mobil dan mempersilahkan sang putri naik. Pintu mobil sudah ditutup rapat, dan para pengawal sudah pula duduk di mobil. Dan, perjalanan pulang pun dimulailah.

Di dalam mobil, seperti biasa pula Sang Srikandhi bertanya kepada komandan satuan pengawal pribadinya: "Pak..., nggak lupa membelikan minuman kaleng kesukaan saya?" Dengan cepat, komandan satuan pengawal pribadi membuka kulkas yang ada di dalam mobil, lalu mengambil minuman kaleng kesukaan Sang Srikandhi dan menyorongkannya kepada sang putri setelah membukakan tutupnya. "Terima-kasih Pak", Srikandhi menerima minuman kaleng dan langsung menenggaknya beberapa teguk.

"Eh...., Pak komandan, hari ini ada berita apa dari istana?" tanya Srikandhi tiba-tiba kepada komandan satuan pengawal pribadinya, setelah beberapa lama mereka berdiam diri saja. "Nggak ada berita penting kok Mbak Srikandhi. Cuma ayahanda tadi sempat menelepon saya. Kata beliau, Mbak Srikandhi kalau sudah sampai di istana diminta menghadap ayahanda. Cuma itu saja berita dari istana Mbak," jawab komandan satuan pengawal pribadi itu.  "Ada apa ya? Kok agak nggak biasanya, ayah ingin saya menghadap," tanya Sang Srikandhi sambil agak mengernyitkan dahinya.
"Waaaah, saya nggak tahu Mbak. Nanti aja ditanyakan langsung kepada ayahanda."

Dialog itu terhenti, saat mobil mulai memasuki halaman istana, lalu berbelok ke arah samping bangunan istana. Tepat di depan pintu samping istana, mobil berhenti. Para pengawal pribadi segera membuka pintu mobil dan meloncat keluar, lalu segera membuka pintu tempat duduk Sang Srikandhi.

"Silahkan Mbak...." kata pengawal pribadi yang membukakan pintu mobilnya.
"Terima-kasih Mas" jawab Srikandhi kepada pengawal pribadinya.

Srikandhi dengan anggun lalu berjalan perlahan menuju ruang ayahandanya, diiring sejumlah pengawal pribadinya. Di benaknya tersusun sejumlah pertanyaan: "Mengapa ayahanda memanggilku?" Sesampai di depan pintu ruang ayahandanya, para pengawal pribadinya melapor kepada pengawal istana, dan memberitahukan bahwa Sang Srikandhi sudah sampai dan hendak menghadap ayahandanya. Pengawal istana yang menerima laporan itu, segera masuk melapor. Beberapa saat kemudian pengawal istana itu keluar dan mempersilahkan Sang Srikandhi masuk ke ruang istana ayahandanya.

Di ruang istana ayahandanya itu, bunyi langkah Sang Srikandhi yang memakai sepatu 'lars' berhak tinggi itu terdengar bergema ritmis di ruang istana yang luas dan indah. Dari kejauhan Sang Drupada, melambaikan tangannya kepada Srikandhi dan menyapanya: "Hei Srikandhi putriku yang cantik! Ke sinilah, ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu!"
"Ya ayah", jawab Srikandhi sambil mendatangi ayahandanya dan kemudian mencium tangan kanannya, sambil agak membongkokkan badannya. "Ke sinilah putriku. Duduklah yang nyaman. Ayah mempunyai berita bagus untukmu. Dengarkan ya..."

Drupada lalu menceritakan kepada Srikandhi, tentang adanya penerimaan pegawai baru di kalangan istana. Dan, khusus untuk Srikandhi dan sejumlah putri istana, Drupada mengatakan bahwa ia telah membuat suatu keputusan untuk menerima seorang instruktur, yang akan bertugas melatih mereka menari dan bela diri. Menurut Drupada, hal ini didasarkan kepada kebisaan pelamar, yang setelah diwawancara dan diuji oleh para pejabat tinggi istana, ternyata memenuhi dua unsur itu. Dengan cermat Srikandhi mendengarkan ayahandanya berbicara. Ia tak berkata sepatah katapun. Hanya saja, ia merasa sangat heran, mengapa instruktur yang ditugaskan melatih dirinya adalah seorang pria. Di kalangan istana Pancala Radya, khususnya untuk kebutuhan keputrian, selama ini belum pernah ada pria yang ditugaskan di sana. Jadi, jika benar instrukturnya kali ini adalah seorang pria, maka hal ini akan merupakan peristiwa pertama kali di Pancala Radya. Rupanya, apa yang menjadi pertanyaan di dalam hati Srikandhi itu, tertangkap juga oleh Drupada.

Sesekali, Sang Srikandhi menyenangkan dirinya bermain dan bercengkerama di pantai Pancala Radya...


"Begini Srikandhi...., ayah tahu perasaanmu yang sedikit galau dan heran, begitu mendengar intsruktur baru yang ditugaskan melatih dirimu dan sejumlah putri istana di keputren itu adalah seorang pria. Kan biasanya, instruktur untuk urusan keputren Pancala Radya, diserahkan kepada wanita. Tapi, ayah kemarin sudah bertemu orangnya. Memang benar dia seorang pria, tetapi peri-lakunya seperti wanita. Dia itu kaum 'shemale'. Memang ayah merasa sedikit aneh juga, karena dia mengatakan pandai menari dan awalnya dia memang melamar sebagai instruktur tari. Ayah lalu ingat, guru tarimu yang sejak beliau meninggal, tidak ada gantinya. Seingat ayah, banyak orang yang melamar untuk menjadi pengganti gurumu itu, tetapi rupanya tidak ada yang mampu menggantikannya. Hla kemarin itu, ayah sudah melihat sebentar dan selintas. Memang belum bisa dikatakan melihat seluruh kemampuannya, tapi paling tidak dari gerak oleh tari yang sempat diperagakan sebentar, ayah bisa membuat kesimpulan, bahwa dia memang benar-benar penari yang sangat mumpuni. Dan, setelah melihat dia memperagakan kebiasaannya, ayah lalu memutuskan untuk menunjuk dia sebagai instruktur untuk mengajar tari di keputren Pancala Radya. Ya..... karena dia kaum 'shemale', maka ayah berpendapat dia sama sekali tidak berbahaya bagi putri-putriku. Dan lagi, kaum shemale itu hanya tertarik kepada pria, dan sama sekali tidak tertarik kepada wanita." Sang Drupada bercerita panjang lebar tentang instruktur tari yang baru saja diangkat dan ditugasinya.

Srikandhi yang enerjik, telah berubah menjadi wanita dewasa yang mempesona....

Sejenak berhenti bercerita, Drupada lalu melanjutkan: "O ya..... Srikandhi...., ayah hampir lupa, nama instruktur barumu itu Kandhi-Awan. Tolong diingat ya, namanya Kandi-Awan. Nanti, kalau dia mulai bertugas tolong hormati dia selayaknya seorang guru dan instruktur, dan jangan sekali-kali engkau meledek atau mempermainkan dirinya ya. Jangan gara-gara dia termasuk kaum shemale, lalu engkau meledeknya atau mempermainkannya. Jangan sekali-kali melakukan hal itu ya....! Ingat baik-baik ya nasehat ayah yang satu ini! Jangan sampai engkau menyinggung perasaannya! Ayah serius lo soal yang satu ini. Bukannya apa-apa, engkau selama ini terkenal sebagai putriku yang nakal, bengal, suka membuat onar, suka berkelahi, dan setiap kali para pengawal pribadimu data melapor ke ayah, setiap kali pula sebenarnya ayah merasakan pusing tujuh keliling memikirkan ulah dirimu," begitu kata-kata nasehat Drupada secara 'khusus' kepada Srikandhi putri kesayangannya itu. 


Mendengar penuturan ayahandanya, raut muka Sang Srikandhi lalu berubah menjadi sedikit cemberut. Dan, dengan manja dan dengan gaya sedikit merajuk, Srikandhi mengatakan kepada ayahandanya: "Ayaaaaah....., jangan begitu doooong. Kan Srikandhi selama ini sudah banyak berubah. Masak ayah nggak tahu? Berkelahi yaaaa masih terjadi sesekali sih, tapi kan sudah jaraaaaaaang sekali. Yang diingat ayah itu kok cuma yang buruk-buruk saja. Aneh sekali! Padahal, Srikandhi sudah banyak berubah hlo. Coba dong lihat nilai ujian semua mata-kuliah yang diambil Srikandhi belakangan ini. Angkanya tinggi-tinggi kan.... Yang diingat ayah tentang Srikandhi, kok cuma yang jelek-jeleknya aja sih? Coba dong lihat Srikandhi dari sisi baiknya juga.......," kata Srikandhi nerocos, seperti mau menasehati ayahandanya.

Drupada ayahandanya tersenyum dan menimpali kata-kata putrinya: "Eeeee Srikandhi....., bukannya ayah tidak tahu perkembangan dirimu. Tapi semua itu kan fakta semata? Selama ini engkau kan memang terkenal sebagai 'trouble maker' di kalangan keputren. Ha ha ha ha."  Sang Drupada tertawa terkekeh-kekeh. "Reputasimu itu lo, kan sudah sangat terkenal di berbagai kalangan. Mungkin sudah tidak terhitung lagi peristiwa yang melibatkan dirimu. Sesekali ayahmu ini tercengang-cengang melihat dirimu di tayangan stasiun TV Pancala Radya, yang memperlihatkan engkau baku hantam dengan sejumlah pria bergajulan. Memang engkau seringkali menang berkelahi. Tapi mbok coba dibayangkan ta. Engkau ini anak siapa? Apa engkau sama sekali nggak memikirkan dampak negatifnya? Apa jadinya jika setiap hari TV Pancala Radya isi berita dan tayangannya cuma adegan perkelahian Srikandhi......?"

Seperti layaknya seorang wanita yang mulai menapak masa dewasa, impi-mimpi Srikandhi juga mulai mengembara jauh ke relung-relung kehidupan yang berbunga-bunga...

Lalu, setelah menghela nafas sejenak, Drupada melanjutkan: "Jangan dikira ayahmu ini nggak memikirkan lo. Coba bayangkan, putri seorang raja besar Pancala Radya, tiap hari beritanya masuk TV gara-gara membuat onar dan berkelahi. Ha ha ha ha..... Cobalah engkau pikirkan, apa yang harus ayah katakan, jika ada wartawan yang iseng menanyakan soal ini? Memangnya ayah harus mengatakan bahwa putri ayah yang satu ini memang ditakdirkan jadi 'trouble maker' dan pembuat onar? Kasihan dong sama para pejabat humas istana, yang setiap kali mendengar engkau membuat ulah, kan mereka juga yang kusut dan harus menghadapi wartawan pada waktu terjadi 'press conference'. Sementara engkau? Menghilang lenyap tak berbekas, bak ditelan bumi! Ha ha ha ha...." terbahak-bahak Sang Drupada....

Mendengar penuturan ayahandanya itu, makin cemberutlah muka Srikandhi. Lalu dengan menyorongkan mukanya yang manja, ia menimpali: "Ayaaaaah......, kan Srikandhi yang sekarang sudah banyak berubah! Srikandhi janji deh, nggak akan membuat ulah dan onar lagi. Srikandhi sekarang, kan sudah dewasa dan sudah jadi anak gadis yang pintar, baik hati, dan tidak sombong....." Begitu kata Srikandhi dengan manja sejadi-jadinya kepada ayahandanya.

Masih dengan senyum lebar, Sang Drupada berkata: "Iyaaaaa.... iyaaa, Srikandhi. Ayah percaya, sekarang engkau sudah banyak berubah, dan katamu sekarang sudah menjadi anak yang baik dan tidak sombong. Anak yang baik? Tidak sombong? Tapi sejak kapan itu? Ha ha ha ha," kembali meledak gelak tawa terbahak-bahak Sang Drupada, terdengar nyaring memenuhi ruang istana yang luas itu.

Lama sekali bapak dan anak itu berbincang berdua tentang berbagai hal di ruang istana yang lengang dan sepi itu. Tak terasa hari sudah menjelang sore. Sambil bergandeng tangan, keduanya berjalan perlahan-lahan masuk menuju ruang dalam istana. Sang Respati sudah berada jauh di ufuk barat. Sisa-sisa sinarnya cemerlang memancar bagaikan lajur-lajur emas bercahaya menjulur di antara awan-awan yang berjalan perlahan, semakin lama semakin redup, sampai akhirnya berubah menjadi malam. Perlahan-lahan Sang Sasadara yang sedang purnama timbul, melayang di angkasa Pancala Radya, bagaikan sang dewi malam. Haripun berubah menjadi malam. Hamparan jutaan kartika perlahan-lahan membuai angkasa raya, berkedip-kedip seakan hendak bercerita tentang perjalanan jutaan manusia di alam janaloka.

Di tempat peraduannya, Sang Srikandhi tiduran sambil termenung memandang bintang-bintang di angkasa. Bayangannya melayang pada peristiwa pertemuannya dengan ayahandanya siang tadi. Dia merasa tidak seperti biasanya ayahandanya memperhatikan dirinya seperti itu. Rasanya itu merupakan pertemuan dirinya dengan ayahnya yang paling lama. Biasanya ayahnya hanya meluangkan waktu sebentar saja dengan dirinya. Biasanya ayahandanya hanya bertanya tentang beberapa hal kecil, yang menurutnya tidak penting. Menanyakan angka-angka hasil ujian, merupakan salah satu pertanyaan klise yang paling sering diajukan. Dan, ia selalu menjawab juga dengan jawaban klise juga. "Nggak ada masalah ayah.... everything under control...." Itu merupakan jawaban yang paling sering ia gunakan untuk menjawab pertanyaan ayahandanya. Tapi kali ini, ayahandanya seakan benar-benar meluangkan waktu khusus untuk dirinya.

Malam semakin larut, Sang Srikandhi akhirnya tertidur lelap dengan mimpi-mimpi indah yang melayangkan cerita berbagai peristiwa menakjubkan yang dialaminya. Di bibirnya, tersungging senyum. Selimut yang menutupi tubuhnya, seakan melenyapkan seluruh kehidupan hari itu dan menyimpannya di awan dan bintang-bintang malam. Sebuah perjalanan malam penuh mimpi dimulai.........


____________________________

[1] Terjemahan bebas:

Telah berbunyi gamelan di malam hari,
Lembut mengalun bagai tersusun,
Nyanyian cerita lama,
Mengharumkan suasana malam,
Berhiaskan bulan dan bintang-bintang,
Sunyi sepi di malam hari.

Telah berbunyi gamelan hendak segera melagukan Talu,
Nyanyian suluk dan tembang nan indah,
Terbawa oleh samirana (angin),
Nanyian pembawa cerita di malam hari,
Menyanyikan perjalanan manusia,
Menjadi penerang peri-laku utama. 

[2] Terjemahan bebas:

Maka dimulailah peristiwa yang menawan hati,
Tergelar menyebar luas bias cahayanya....


CERITA CINTA SINTA....

Dewi Sinta, menjalani penantian datangnya sang kekasih Sri Rama, yang tak kunjung datang juga....

Mas-Mas dan Mbak-Mbak sahabat kinasih saya,

Setelah terjadinya drama 'Rahwana cintanya hanya untuk Sinta', yang menggegerkan dunia 'kangouw' (persilatan), ini saya kirimkan satu lagi copy dari puisi karya Mbak Dorothea Rosa Herliany, yang besar kemungkinan akan membuat sekumpulan sahabat saya menjadi kebakaran jenggot. Tapi seperti kata saya sebelumnya, mohon dengen amat dari pada sangat, supaya jangan membaca dengan rasa emosional. Dengan kepala dinginlah, dan ini yang menulis kan seorang wanita lo. Jadi, bacalah dengen perlahan-lahan saja, lima kilometer per jam saja. Selamat menikmatinya....


ELEGI SINTA
Oleh: Dorothea Rosa Herliany

Aku sinta yang urung membakar diri,
Demi darah suci,

Bagi lelaki paling pengecut bernama Rama,
Lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam,
Agar hangat gelora cintaku,
Tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

Kuburu Rahwana,
Dan kuminta ia menyetubuhi nafasku,
Menuju kehampaan langit,
Kubiarkan terbang, agar tangan yang takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

Siapa bilang cintaku putih?
Mungkin abu,
Atau bahkan segelap hidupku,
Tapi dengarlah ringkikku yang indah,
Menggosongkan segala yang keramat dan abadi.

Kuraih hidupku, tidak dalam api,
Rumah bagi para pendosa,
Tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa,
Agar sejarahku terpisah dari para penakut dan pendusta, 
Rama ....



_________________________________________________________________

Lalu, di bawah ini saya tambahkan kutipan dari tulisan/ulasan Mas Jrink (Jum'at, 15 Februari 2013), tentang tokoh Sinta ini...

 Tokoh Sinta memang dapat dikatakan sebagai tokoh sentral dalam epos besar Ramayana karena ia adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

“…. Jika Rama mengasingkan diri ke hutan, itu juga berlaku untuk Sinta. Sinta adalah bagian dari Rama. Aku akan berjalan di depanmu. Akan kubuka dan kupersiapkan jalan supaya kau bisa berjalan dengan nyaman. Jangan menganggapku kepala batu. Ayahanda dan ibunda mendidikku dengan dharma. Apa yang kau katakan bertentangan sepenuhnya dengan apa yang mereka ajarkan. Satu-satunya jalan yang terbentang di depanku adalah bersamamu ke mana pun kakimu melangkah…”  (Rajagopalachari, 2008: 126).

Pada kutipan di atas terlihat Rajagopalachari menggambarkan Sinta sebagai perempuan yang setia. Kebanyakan orang yang tahu atau pernah membaca kisah Ramayana akan berpendapat kurang lebih sama seperti Rajagopalachari atau bahkan Walmiki yang menggambarkan Sinta sebagai sosok yang setia.

Namun tidak bagi Dorothea Rosa Herliany, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, dan Soni Farid Maulana. Para penyair ini berusaha menampilkan perspektif mereka tentang Sinta. Sinta yang tidak melulu hadir sebagai perempuan setia dan taat kepada suami tetapi juga sebagai perempuan yang berani menentukan nasibnya sendiri.

Secara tegas Dorothea membuka puisinya Elegi Sinta dengan penolakan Sinta untuk melompat ke dalam api. Tidak hanya menolak, Sinta juga memaki Rama sebagai “lelaki yang paling pengecut” dan “para penakut dan pendusta”. Kemarahan besar menjadi hal wajar bagi seorang perempuan yang telah bersungguh-sungguh setia. Akan tetapi, kesetiaan itu justru diragukan oleh laki-laki yang untuknya ia setia.

Kuburu rahwana,Dan kuminta ia menyetubuhi nafaskuMenuju kehampaan langitKubiarkan terbang, agar tangan yangtakut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.(Elegi Sinta-Dorothea Rossa Herliany)

Sinta bahkan lebih memilih Rahwana untuk menyetubuhinya daripada ia harus kembali ke tangan Rama. Sinta ingin membiarkan keraguan Rama padanya benar-benar menjadi nyata. Sebuah pengakuan juga terlontar dari seorang Sinta tentang cintanya yang abu, cinta yang tak sepenuhnya putih. Dorothea memperjelas kesedihan Sinta dengan menggunakan kata “elegi” pada judul puisinya. Menggunakan kata elegi yang berarti syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pd peristiwa kematian) saya pikir telak merepresentasikan ungkapan dukacita Sinta.

Terbebas juga akhirnya aku-Entah dari cakar garudaAtau lengan Dasamuka.Sendiri,di menara tinggi,kusaksikan di ataslangityang tak luntur dingin-birunya;dan di bawahapiyang disulut Rama –berkobar bagi rindu abadi.(Sita Sihir-Sapardi Djoko Damono)

Sapardi memberikan awal yang baik bagi Sita karena ia dapat bebas baik dari cakar garuda yang ingin menyelamatkannya maupun dari Dasamuka (sebutan lain Rahwana). Namun, setelah itu ia menggambarkan Sita yang baru saja merasakan sedikit kebebasan untuk selanjutnya merasakan kesendirian. Rama seakan tidak sabar untuk melihat Sita melompat dari atas menara. Menurutnya hanya dengan cara itu kesucian atau kemurnian Sita dapat kembali. Terungkap keinginan Sita untuk bebas pula dari sihir Rama. Sihir yang memaksanya tunduk pada keraguan Rama. Keraguan yang kemudian membawanya ke menara tinggi menghampiri kesendirian.

Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah…” Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa. (Benih-Sapardi Djoko Damono)

Benih karya Sapardi yang mengangkat fragmen Rama mempertanyakan kehamilan Sinta membingungkan karena sebuah pernyataan Rama bahwa Sinta adalah ‘benih’ alias anak dari Rahwana. Jika Rama sudah mengetahui hal ini mengapa ia harus menaruh curiga terhadap Rahwana yang sebenarnya adalah ayah Sita sendiri. Namun kecurigaan itu tetap muncul. Dalam pernyataannya itu Rama masih tetap berpikir bahwa Rahwana lah yang menghamili Sita.

Sita diungkapkan Sapardi diam seribu bahasa. Ia seakan menerima pernyataan Rama atau memang ia sudah mengetahui bahwa Rahwana adalah ayahnya. Sapardi menuntaskan puisi ini dalam ke’diam’an Sita yang mencoba berpikir apa kehendak dewa atas dirinya.

Momen Sita berada di tengah kobaran api digunakan Subagio Sastrowardoyo untuk menyampaikan pandangannya tentang Sita. Entah mengapa Subagio memberi judul Asmaradana yang sepengetahuan saya adalah tembang/macapat Jawa yang menceritakan kisah cinta sedih antara Anjasmara dan Damarwulan. Kisah cinta antara Rama dan Sinta dengan kisah cinta antara Anjasmara dan Damarwulan memang sama-sama mengalami akhir yang sedih. Keduanya tidak dapat merasakan akhir yang indah dari sebuah kisah cinta.

Ironi yang diciptakan Subagio mengejutkan dan mendobrak citra Sita selama ini. Dengan jelas Subagio menuliskan bahwa Sita menyukai kejantanan Rahwana. Hubungan intim penuh berahi pun tidak dapat dihindari. Tidak pernah ada rasa bersalah dan berdosa pada diri Sita karena telah melakukan hal itu. Hanya “sekadar menurutkan naluri”. Sebagai perempuan yang normal tentu saja hasrat bersetubuh ketika melihat laki-laki yang jantan muncul secara alami. Ini juga yang terjadi pada Sita saat melihat Rahwana. Sedikit menarik kaitannya dengan Hawa, ia pula yang tidak dapat menahan nafsu melihat buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat kemudian mengajak serta Adam memakannya1. Sifat perempuan seperti ini lah yang diangkat dalam puisi Asmaradana ini. Tanpa beban Sita melompat ke dalam api karena memang merasa sudah tidak suci lagi.

Pada geliat sekarat terlompat doaJangan juga hangus dalam apiSisa mimpi dari sanggama(Asmaradana-Subagio Sastrowardoyo)

Selanjutnya Subagio menutup puisi ini dengan doa singkat Sita yang sekarat dalam kobaran api. Doa yang masih meminta agar nikmat dari persetubuhannya dengan Rahwana tidak turut terbakar dalam kobaran api. Penggambaran Sita yang benar-benar berbeda telah dilakukan Subagio.

Soni Farid mempunyai gambaran tersendiri mengenai Sita. Serupa dengan Subagio, Soni mengungkapkan bahwa Sita jatuh cinta kepada Rahwana. Perbedaannya terletak pada cinta yang dirasakan Sita. Dalam Asmaradana jelas sekali bahwa cinta itu sekadar nafsu , sekadar pemuas birahi Sita sedangkan dalam Sita Obong cinta Sita adalah cinta yang tulus. Mengapa tulus? Bagaimana tidak seorang perempuan rela lompat ke dalam api hanya untuk cintanya. Sita terkapar di ranjang juga karena cintanya pada Rahwana.

Demikian senja turun dan Sita terkaparDi ranjang. Walau begitu jangan kau tanyaMengapa semua ini terjadi;Pada kobaran api yang menyala di tegalan,(Sita Obong-Soni Farid)

Sita menegaskan pula pada Rama agar jangan bertanya mengapa ia bisa jatuh cinta pada Rahwana. Soni menekankan cinta Sita kepada Rahwana pada bagian akhir dengan mengungkapkan ketidakmengertian Hanoman tentang bagaimana cinta dapat membuat orang rela mati karenanya (karena cinta).

Penyair Indonesia dapat dengan bebas mengubah atau melakukan modifikasi terhadap sebuah epos besar (dalam hal ini Ramayana) sesuai perspektif mereka masing-masing. Dengan begitu pembaca juga dapat dengan bebas pula menafsirkan dan mengintepretasi sebuah karya sastra.

Dewi Sinta, cantik, manja, dan membuat Rama dan Rahwana jatuh hati.


Sinta-Sinta abad duapuluh satu! Centil, cantik, sexy, dan gaya. Jadi pantas saja Rahwana dan Rama jatuh hati setengah mati....